Aku merebahkan tubuhku di dadanya. Tanganku melingkari tubuhnya yang atletis. Dia menarik selimut lalu membelai rambutku. Sesekali mengecup puncak kepalaku. Jantungku yang semula memburu sekarang sudah mereda.
“Ah, andai saja
aku sudah mandiri. Aku bakalan bisa ngasih apa pun yang kau mau.” cetusnya.
Aku menatapnya
lembut. Mencium pipinya.
”Aku serius, Ras.
Apa pun.” ulangnya. Aku mengangguk.
”Iya aku tau.
Tapi jangan malah membebani kamu. Pelan-pelan saja... Yang sabar.” Aku mengecup
pundaknya. Dia menghela napas.
”Aku tau kau akan
menjawab begitu, tapi aku cuma gak tahan kalau kau harus meneruskan semua ini
sementara aku tidak bisa melakukan apa-apa. Setidaknya kalau aku sudah mampu,
kita bisa membeli rumah kita sendiri. Bukan seperti sekarang... Kau harus
merelakan diri untuknya. Aku harus berbagi dirimu dengannya. Bahkan agar bisa bersama-sama kita harus memakai
fasilitas dari si tua bangka itu!”
Aku menatapnya. Kegeraman tergambar jelas di
matanya. Aku membelai dahinya.
”Aku ngerti kamu lagi
kesal, tapi bagaimana pun... Si tua bangka itu ayah kandungmu...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar