Sabtu, 11 Agustus 2012

Flash : Si Tua Bangka itu...


Aku merebahkan tubuhku di dadanya. Tanganku melingkari tubuhnya yang atletis. Dia menarik selimut lalu membelai rambutku. Sesekali mengecup puncak kepalaku. Jantungku yang semula memburu sekarang sudah mereda.

“Ah, andai saja aku sudah mandiri. Aku bakalan bisa ngasih apa pun yang kau mau.” cetusnya.
Aku menatapnya lembut. Mencium pipinya.
”Aku serius, Ras. Apa pun.” ulangnya. Aku mengangguk.
”Iya aku tau. Tapi jangan malah membebani kamu. Pelan-pelan saja... Yang sabar.” Aku mengecup pundaknya. Dia menghela napas.

”Aku tau kau akan menjawab begitu, tapi aku cuma gak tahan kalau kau harus meneruskan semua ini sementara aku tidak bisa melakukan apa-apa. Setidaknya kalau aku sudah mampu, kita bisa membeli rumah kita sendiri. Bukan seperti sekarang... Kau harus merelakan diri untuknya. Aku harus berbagi dirimu dengannya. Bahkan agar bisa bersama-sama kita harus memakai fasilitas dari si tua bangka itu!”

Aku  menatapnya. Kegeraman tergambar jelas di matanya. Aku membelai dahinya.

”Aku ngerti kamu lagi kesal, tapi bagaimana pun... Si tua bangka itu ayah kandungmu...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar