“Pak, Weni udah punya baju baru…” Lastri, putri semata wayangku mengabarkan setengah merengek. Weni adalah teman mainnya. Istriku yang sedang memotong-motong tempe sekarang menatapku. Aku mengusap kepala putriku.
”Iya. Hari ini
Bapak dapat THR kok. Jadi bisa beli baju baru buat kamu.”
”Asiiikkk... Jadi
punya baju baru...!!” Aku hanya tersenyum seraya mengangguk. Lalu bangkit,
meraih jaketku, menatap istriku sejenak lalu keluar.
Namun yang
kutemui hanya teman-teman dengan raut yang tak kalah lemasnya dari aku.
Bersama-sama mereka aku berdiri di depan pintu besi yang tertutup. Lusa sudah
Hari Raya, jika hari ini kami masih belum mendapatkan THR, maka itu artinya
kami harus melalui hari dengan tangan kosong.
Sudah lewat
tengah hari, kami pun meninggalkan tempat itu satu per satu. Aku yang paling
belakangan berangkat dengan langkah kaki berat. Kata-kata Lastri dan raut wajah
istriku berganti-ganti mengisi benakku, mengoyak-ngoyak harga diriku sebagai
ayah dan suami.
Hingga saat itu
mataku mendadak tertumbuk kepada dompet yang mengintip malu-malu dari tas
perempuan di hadapanku dan bayangan baju baru buat Lastri langsung memenuhi pandanganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar