Kamis, 23 Agustus 2012

Flash : Tuba


Matamu mengerjap beberapa kali seolah berusaha mengusir kabut tebal yang mendadak memburamkan pandanganmu. Setelahnya mulutmu bergerak-gerak tapi tidak ada suara yang merambat keluar. Seolah dalam gerakan lambat aku bisa membaca semua gurat di rautmu dengan sempurna. Segala rasa yang menguar dari sana.

Tanganmu mencengkeram taplak meja hingga buku-buku jarimu memutih. Betapa ingin aku mengenggamnya, sekedar untuk mengurai ketegangan yang mengurungmu seperti yang selalu kulakukan lebih dari satu dasawarsa belakangan ini sebagai sahabat yang paling mengerti kamu.

”Bagaimana mungkin? Kenapa kau...” Suaramu muncul tersendat, tercekik di tenggorokanmu. Bersamaan dengan genangan yang tidak lagi samar di matamu. ”Kupikir kita bersahabat...” sambungmu lagi. Ada luka di sana.
”Aku akan tetap menjadi sahabatmu...” sahutku dengan lidah kelu. Terlebih lagi ketika luka sudah menjalar ke sekujurmu tanpa menyisakan ruang kosong berisi maaf. Alangkah leganya aku jika kau memaki dan menamparku sekarang, namun kau hanya menatapku dengan matamu yang berleleran oleh luka sebelum bergegas pergi meninggalkan aku sendiri.

Setelahnya aku mengeluarkan dompet lalu menatap foto yang mengisi bingkai mungil di sana. Foto kita di hari pernikahanmu. Senyum mengembang di bibirku yang berdiri di antara kamu dan suamimu. Senyum miris menoreh rautku diikuti panas menyesak di mataku. Andai saja kita tahu itu adalah pertanda...

Tanganku bergerak lirih, membelai perutku yang membuncit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar