Biru.
Matamu. Serupa warna langit di suatu hari yang cerah. Saat
awan-awan yang genit hanya bisa berdiri di sudut menahan keras jemari mereka
yang genit ingin menyentuh permukaannya yang bening. Bahkan di keremangan, aku bisa melihat warnanya
yang tetap cemerlang.
Biru.
Gaun mini yang melekat indah di tubuh mungilmu. Berayun-ayun
gemulai dipermainkan angin yang berhembus pelan, tidak ingin buru-buru berlalu meninggalkan kulitmu yang
serupa pualam. Yang tak kaupedulikan bahkan ketika bibir-bibirnya berlabuh
mendarat, dengan rakus menyelusup ke dalam.
Biru.
Kau hanya
tersenyum malu-malu ketika gaunmu tersingkap memperlihatkan mangkuk dan
segitiga berwarna senada. Renda-renda saling bertaut rumit, yang begitu tipis dan
terlihat kewalahan menahan gumpalan dan gairah yang terpancar dari sekujurmu.
Menanti dengan tak sabar. Menggeliat kepanasan hanya dengan belaian lembut dan
samar di kulitmu.
Biru.
Warna seprei
satin yang melapisi ranjang, membuatmu terlihat seperti lukisan. Lukisan patah-patah
yang samar bercerita tentang haru biru perasaan yang mungkin sedang menggeliat
di seluruh relungmu sekarang. Begitu liar karena terusik di dalam tidur
panjangnya.
Biru.
Karet tipis yang
kaupilih buatku malam ini. Tak perlu kutanya kenapa. Aku tak berminat. Tapi
dengan duri-duri mungil di sekujurnya membuat penampilanku sangat gahar malam
ini. Tapi tak mengapa, kau yang mengingininya. Kau yang bergairah dengan segala
bayangan liar di kepalamu.
Biru
Sebutir benda
mungil memisahkan bibir-bibir kita dengan manis. Sebelum akhirnya lenyap ke
dalam mulut kita masing-masing setengah. Katamu benda mungil itu akan
memastikan perjalanan kita ke surga malam ini. Lebih dahsyat dari yang
sudah-sudah. Dan apa perkataanmu yang tidak kupercaya?
Biru.
Peluhmu.
Desahmu.
Gairahmu.
Surgamu.
Tanpaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar