Rabu, 15 Agustus 2012

Cerpen : Menghilang


Malam sudah akan meninggalkan panggung ketika bunyi-bunyi yang mendadak merasuk lewat telinga memaksaku membuka mata. Langkah-langkah kaki yang ketukannya sudah kukenal berjalan hilir mudik sebelum akhirnya pintu kamar terayun perlahan. Aku bisa membayangkan dia membukanya dengan begitu hati-hati, setengah berjingkat karena tidak ingin membangunkanku.

Aku yang berbaring menyamping membelakangi pintu tidak bergerak, seolah begitu dalam terlelap menjelajah dunia mimpi. Padahal mata dan telingaku sudah begitu awas sekarang. Derit pelan pintu lemari yang terbuka lalu suara kasak-kusuk singkat sebelum pintu kembali ditutup. Aku seolah bisa melihatnya sedang meraih piyama lalu berganti pakaian.

Mataku akhirnya kembali terpejam ketika sisi di sebelahku berdenyut perlahan. Meskipun pikiranku tetap terjaga menyaksikan semua dalam diam.

***
”Dan kamu hanya diam?” Ratri menatapku lekat seolah aku sudah tidak waras setelah aku menceritakan semuanya. Tatapan yang langsung membuatku menyesal sudah memulai perbincangan ini.
”Dia memang bilang pekerjaannya sangat sibuk belakangan ini.”
”Dan kamu percaya sepenuhnya?” Sekarang tatapannya seolah menanyakan kadar kecerdasanku. Terlebih lagi setelah aku mengangguk.

”Aku percaya. Lagipula setelah begitu lama hubungan kami teruji, apa alasanku untuk tidak percaya padanya?” Ratri menghela napas lalu menyeruput jusnya seolah dengan begitu kekesalannya akan mereda.
”Memang kalian sudah lama bersama, tapi itu bukan jadi alasanmu untuk terus saja mempercayainya bulat-bulat. Kamu tidak boleh pasrah ditumpulkan perasaan yang salah terhadapnya. Mempertanyakan bukan berarti tidak percaya, tapi menunjukkan perasaanmu kepadanya masih kuat dan tajam.” Aku terdiam.

”Setelah sekian lama bersama, pernah gak kamu mempertanyakan seberapa dalam cintanya sekarang kepadamu? Dengan segala tingkah yang penuh rahasia itu harusnya matamu segera terbuka.” tandasnya.

Mungkin Ratri ada benarnya. Aku tidak seharusnya bersikap acuh dan tumpul. Aku harus menunjukkan kepada Egi bahwa perasaanku masih tajam dan bisa merasakan setiap rasanya. Rasa yang mungkin sudah tidak sama lagi. Tapi mungkinkah begitu? Mungkinkah Egi akan seperti yang lain? Mungkinkah dia membohongiku?

Malam ini dia kembali harus tinggal lebih lama di kantor dan aku lagi-lagi hanya bisa makan sendirian di tengah hening yang perlahan semakin kuat. Membuatku tuli dan tumpul. Membuat relungku berdenyar aneh. Denyar aneh yang mengalirkan ribuan pertanyaan di benakku. Pertanyaan yang entah muncul dari mana, membuatku kesal sendiri karena mereka semua seolah melawanku. Begitu sengit sehingga rasanya tubuhku terbelah. Pertanyaan yang meruntuhkan benteng keyakinanku sedikit demi sedikit.

Sehabis makan aku meringkuk di depan televisi yang menyala, namun tidak benar-benar kutonton karena pikiranku mengembara. Berpencar seperti akar pohon yang mencuat liar ke segala penjuru.

Bayangan itu memenuhi benakku. Saat pertama kali kami memutuskan untuk saling mengikatkan diri. Kami masih sangat muda dan mabuk cinta yang efeknya bukan hanya membutakan, namun juga menulikan. Tidak ada yang mampu kulihat selain dirinya dan kata-kata orang tentangnya tidak ada bedanya dengan desau angin. Dan aku merasakan hal yang sama di dirinya.

Kami masih muda dengan benak yang penuh cita-cita hanya untuk berdua. Betapa banyak mimpi dan harapan di depan mata. Menunggu dengan tabah untuk dijamah. Tak peduli dengan tantangan yang ada. Semua diterabas habis dengan gagah. Bahkan ketika ragu mulai mengisiku, Egi seperti ksatria dengan pedang terhunus yang memusnahkan semuanya.

Ketika harus merintis hidup yang jauh dari dunia di luar sana. Tak ada yang kami punya. Hanya dua pasang tangan yang berisi pendar cita-cita dan cinta. Pendar yang sudah cukup untuk menerangi jalan setapak kami yang sunyi. Jalan setapak yang jauh meninggalkan keramaian menuju dunia sunyi yang enggan diraba. Kesunyian yang tak pernah kurasa karena di sisiku selalu ada dia. Egi, ksatriaku.

Ksatria yang selalu setia menjagaku. Memastikan tiada satu pun yang akan melukai dan menyakitiku. Memastikan kehangatan tetap tersedia agar pendarku selalu terjaga. Memastikan matahari tetap tersenyum di wajahku. Egi melakukan segala yang dia bisa untuk menjaga semua.

Dan sekarang di sini aku diam-diam malah mempertanyakan kesungguhannya?
Betapa bodohnya!

***
”Aku mencintaimu.” bisikku ke telinganya saat kami masih bergelung berdua di suatu pagi yang malas. Tak peduli pada teriakan matahari yang sudah semakin kokoh di singgasananya. Kami seolah sama-sama tidak ingin beranjak karena dengan begitu kulit-kulit kami akan terpisah menjauh. Kulit yang menempel erat lekat oleh keringat yang hangat.
Dia hanya menjawab dengan ciuman di bibirku. Menarikku lebih dekat kepadanya. Mengacuhkan cemburu yang terpancar jelas di raut matahari yang hanya bisa menahan rindu bergolak pada rembulan yang tak akan kunjung tuntas.

Kami hanya dua manusia yang sedang dimabuk cinta yang penuh asa. Dengan mata terpejam menikmati segala sentuhan dan rasa. Menghayatinya begitu dalam merasuk sukma.

Walau ketika mata akhirnya terbuka, tidak ada dia di sana.
Hanya aku sendiri terengah.
Di tengah kesendirian yang begitu kejam menyayat luka.

***
”Aku merindukanmu, Gi...”
Aku bisa mendengar napasnya tertahan di ujung sana. Tapi aku sudah tidak tahan. Kesendirian ini sudah begitu menyiksa.

”Kapan terakhir kali kita benar-benar bersama? Belakangan ini hampir tak pernah. Aku benar-benar merindukanmu. Aku tidak siap kehilangan...”
”Kamu ngomong apa sih? Aku masih di sini, Fanny.” sergahmu.
”Kamu memang masih ada, tapi aku tidak bisa merasakanmu...” kataku setengah ngotot. Bayangan diriku yang terengah sendirian, padahal aku masih memilikinya terasa begitu menyesakkan sekarang.
”Kamu tahu aku tidak bisa...”
”Kamu masih mencintaiku, Gi?”

Betapa perih dadaku ketika harus mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang begitu tabu bagiku yang selama ini sudah sangat yakin dengan cintanya padaku. Kata-kata yang harusnya tak perlu kuucapkan karena aku bisa langsung membaca jawaban yang terpancar jelas di sekelilingnya.

”Kenapa kamu tanyakan itu? Apakah harus...”
”Karena aku tidak bisa membacamu lagi...”

Bersamaan dengan itu air mataku meluncur. Aku tidak menunggu jawabannya. Langsung mengakhiri semuanya. Entah kenapa aku merasa tidak cukup kuat dengan jawaban yang mungkin sudah menggantung di ujung bibirnya di sana.

Aku menyerah pada tangis yang sekarang tertawa penuh kemenangan setelah sekian lama menanti-nanti saat ini. Aku pasrah diombang-ambingkan pada perasaan yang membuncah namun bukan berisi cinta. Hanya perih dan nestapa yang menguar di sana. Rasa sesal dan kecewa menyatu campur aduk.

Tapi dia tidak muncul. Egi-ku.

***
Sejak itu kami jadi semakin jauh. Aku memilih diam dan dia terlalu keras kepala untuk mendekat. Sosoknya sekarang hanya berupa bayangan samar di mataku yang suatu ketika akan benar-benar menghilang tak berbekas serupa kabut.

Aku menahan keinginan untuk menceritakan semua ini kepada Ratri, tidak sanggup menerima komentarnya yang pedas. Tidak siap dihakimi lagi olehnya. Aku tahu apa yang akan dia katakan jika tahu situasi kami sekarang. Dan aku tidak ingin mendengarkan sarannya sekarang. Aku masih terlalu mencintai Egi dan tak sanggup berpikir untuk melepasnya.

Maka siang ini aku langsung menuju ke kantornya tanpa lebih dulu memberitahunya. Ketika tiba, ternyata dia tidak ada di tempat. Aku pun menunggu di ruangannya yang nyaman. Sudah sangat lama aku tidak berkunjung ke tempat ini. Mengamati seisinya yang sudah jauh berubah. Dindingnya yang semula berwarna putih sekarang berwarna jingga. Bukan warna kesukaanku, tapi tidak mengapa. Sofanya juga sudah berganti. Rak bukunya juga sudah penuh. Untuk sesaat aku merasa asing.

Aku menghampiri meja kerjanya. Jantungku mencelos ketika tidak menemukan foto kami yang dulu kuingat bertengger manis di sana. Bingkai yang bertengger masih sama, tapi foto yang mengisinya sudah berbeda. Dengan tangan gemetar aku meraihnya. Mengeluarkan foto itu dari sana lalu menyimpannya di dalam tas lalu langsung bergegas pulang.

Dan saat itu tatapan mata Ratri membayangiku. Menghakimiku. Aku yang tumpul. Aku yang terlalu naif. Semua beradu, bergumul di benakku menciptakan percik membara.

Seperti badai, dia muncul sesaat kemudian.

”Hari ini kamu pulang lebih awal?” tanyaku sinis. Sekarang dia duduk di hadapanku.
”Fanny, aku bisa menjelaskan semua.”
”Menjelaskan tentang apa? Apalagi yang harus kudengar?”
”Semua tidak seperti yang kau pikirkan. Aku...”
”Tidak usah menjelaskan apa-apa lagi. Aku yang terlalu bodoh dan lamban untuk menyadari semuanya sebelum terlambat.”
”Masih belum terlambat.” Aku menatapnya. Sudah sejauh ini dan dia masih bilang belum terlambat?

”Kau bukan Egi-ku.”
”Fanny, aku...” Dia terbata. Aku hanya menggeleng.
”Seharusnya aku sadar saat kau tak lagi terbaca olehku. Kau bukan Egi-ku. Kau orang lain. Egi tidak akan melakukan ini padaku. Kau bukan dia!” Tangannya terulur ingin meraihku, tapi langsung kutepis.

Ya, aku bisa menduga bagaimana semuanya terjadi. Tentang wasiat orang tuanya, perjodohan dan pernikahannya dengan laki-laki itu, hingga kehadiran buah hati yang semuanya dengan begitu lihai dia sembunyikan dariku selama ini. Rahim siapa yang dia pinjam untuk menyembunyikan kenyataan itu dariku? Dia memang sangat beruntung memiliki aku yang begitu tolol sehingga akan menerima apa pun darinya bulat-bulat.

”Aku mencintai kamu, Fan. Aku...”
”Jangan berpikir untuk meninggalkan mereka. Jika kamu memang mencintaiku, maka aku bukanlah orang terakhir yang boleh tahu kebenaran ini. Jika kamu memang mencintaiku, maka kamu akan mempercayakan beban itu ke pundakku juga.”

Dia diam. Terhenyak.
”Pulanglah. Rumahmu bukan di sini.” kataku dalam ketenangan yang menakjubkan. Dia hanya membisu, tak bergerak. ”Anak itu lebih butuh kamu. Aku akan baik-baik saja.” imbuhku lagi. Tanganku terulur menyerahkan foto itu kepadanya. Dia menerimanya ragu-ragu.

Setelahnya aku memalingkan muka. Tidak ingin tatapannya mengubah keputusanku. Ini yang terbaik buat kami. Dia kembali kepada keluarga kecilnya dan berbahagia bersama mereka, tanpa aku. Entah sejak kapan.

”Aku akan kembali, Fan...” ujarnya sebelum berlalu di balik pintu yang menutup. Aku hanya tersenyum getir. Setelahnya aku bangkit dengan sisa-sisa tenagaku masuk ke kamar. Mengamati koper yang sudah tersusun rapi.

Aku hanya ingin menghilang.
Menyusul ksatria yang sudah mendahuluiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar