Malam sudah akan meninggalkan panggung ketika bunyi-bunyi yang mendadak merasuk lewat telinga memaksaku membuka mata. Langkah-langkah kaki yang ketukannya sudah kukenal berjalan hilir mudik sebelum akhirnya pintu kamar terayun perlahan. Aku bisa membayangkan dia membukanya dengan begitu hati-hati, setengah berjingkat karena tidak ingin membangunkanku.
Aku yang
berbaring menyamping membelakangi pintu tidak bergerak, seolah begitu dalam
terlelap menjelajah dunia mimpi. Padahal mata dan telingaku sudah begitu awas
sekarang. Derit pelan pintu lemari yang terbuka lalu suara kasak-kusuk singkat
sebelum pintu kembali ditutup. Aku seolah bisa melihatnya sedang meraih piyama
lalu berganti pakaian.
Mataku akhirnya kembali
terpejam ketika sisi di sebelahku berdenyut perlahan. Meskipun pikiranku tetap
terjaga menyaksikan semua dalam diam.
***
”Dan kamu hanya
diam?” Ratri menatapku lekat seolah aku sudah tidak waras setelah aku
menceritakan semuanya. Tatapan yang langsung membuatku menyesal sudah memulai
perbincangan ini.
”Dia memang
bilang pekerjaannya sangat sibuk belakangan ini.”
”Dan kamu percaya
sepenuhnya?” Sekarang tatapannya seolah menanyakan kadar kecerdasanku. Terlebih
lagi setelah aku mengangguk.
”Aku percaya.
Lagipula setelah begitu lama hubungan kami teruji, apa alasanku untuk tidak
percaya padanya?” Ratri menghela napas lalu menyeruput jusnya seolah dengan
begitu kekesalannya akan mereda.
”Memang kalian
sudah lama bersama, tapi itu bukan jadi alasanmu untuk terus saja
mempercayainya bulat-bulat. Kamu tidak boleh pasrah ditumpulkan perasaan yang
salah terhadapnya. Mempertanyakan bukan berarti tidak percaya, tapi menunjukkan
perasaanmu kepadanya masih kuat dan tajam.” Aku terdiam.
”Setelah sekian
lama bersama, pernah gak kamu mempertanyakan seberapa dalam cintanya sekarang
kepadamu? Dengan segala tingkah yang penuh rahasia itu harusnya matamu segera
terbuka.” tandasnya.
Mungkin Ratri ada
benarnya. Aku tidak seharusnya bersikap acuh dan tumpul. Aku harus menunjukkan
kepada Egi bahwa perasaanku masih tajam dan bisa merasakan setiap rasanya. Rasa
yang mungkin sudah tidak sama lagi. Tapi mungkinkah begitu? Mungkinkah Egi akan
seperti yang lain? Mungkinkah dia membohongiku?
Malam ini dia
kembali harus tinggal lebih lama di kantor dan aku lagi-lagi hanya bisa makan
sendirian di tengah hening yang perlahan semakin kuat. Membuatku tuli dan
tumpul. Membuat relungku berdenyar aneh. Denyar aneh yang mengalirkan ribuan
pertanyaan di benakku. Pertanyaan yang entah muncul dari mana, membuatku kesal
sendiri karena mereka semua seolah melawanku. Begitu sengit sehingga rasanya
tubuhku terbelah. Pertanyaan yang meruntuhkan benteng keyakinanku sedikit demi
sedikit.
Sehabis makan aku
meringkuk di depan televisi yang menyala, namun tidak benar-benar kutonton
karena pikiranku mengembara. Berpencar seperti akar pohon yang mencuat liar ke
segala penjuru.
Bayangan itu
memenuhi benakku. Saat pertama kali kami memutuskan untuk saling mengikatkan
diri. Kami masih sangat muda dan mabuk cinta yang efeknya bukan hanya membutakan,
namun juga menulikan. Tidak ada yang mampu kulihat selain dirinya dan kata-kata
orang tentangnya tidak ada bedanya dengan desau angin. Dan aku merasakan hal
yang sama di dirinya.
Kami masih muda
dengan benak yang penuh cita-cita hanya untuk berdua. Betapa banyak mimpi dan
harapan di depan mata. Menunggu dengan tabah untuk dijamah. Tak peduli dengan
tantangan yang ada. Semua diterabas habis dengan gagah. Bahkan ketika ragu
mulai mengisiku, Egi seperti ksatria dengan pedang terhunus yang memusnahkan
semuanya.
Ketika harus
merintis hidup yang jauh dari dunia di luar sana. Tak ada yang kami punya.
Hanya dua pasang tangan yang berisi pendar cita-cita dan cinta. Pendar yang
sudah cukup untuk menerangi jalan setapak kami yang sunyi. Jalan setapak yang
jauh meninggalkan keramaian menuju dunia sunyi yang enggan diraba. Kesunyian
yang tak pernah kurasa karena di sisiku selalu ada dia. Egi, ksatriaku.
Ksatria yang
selalu setia menjagaku. Memastikan tiada satu pun yang akan melukai dan
menyakitiku. Memastikan kehangatan tetap tersedia agar pendarku selalu terjaga.
Memastikan matahari tetap tersenyum di wajahku. Egi melakukan segala yang dia
bisa untuk menjaga semua.
Dan sekarang di
sini aku diam-diam malah mempertanyakan kesungguhannya?
Betapa bodohnya!
***
”Aku mencintaimu.”
bisikku ke telinganya saat kami masih bergelung berdua di suatu pagi yang
malas. Tak peduli pada teriakan matahari yang sudah semakin kokoh di
singgasananya. Kami seolah sama-sama tidak ingin beranjak karena dengan begitu
kulit-kulit kami akan terpisah menjauh. Kulit yang menempel erat lekat oleh
keringat yang hangat.
Dia hanya
menjawab dengan ciuman di bibirku. Menarikku lebih dekat kepadanya. Mengacuhkan
cemburu yang terpancar jelas di raut matahari yang hanya bisa menahan rindu
bergolak pada rembulan yang tak akan kunjung tuntas.
Kami hanya dua
manusia yang sedang dimabuk cinta yang penuh asa. Dengan mata terpejam
menikmati segala sentuhan dan rasa. Menghayatinya begitu dalam merasuk sukma.
Walau ketika mata
akhirnya terbuka, tidak ada dia di sana.
Hanya aku sendiri
terengah.
Di tengah
kesendirian yang begitu kejam menyayat luka.
***
”Aku
merindukanmu, Gi...”
Aku bisa
mendengar napasnya tertahan di ujung sana. Tapi aku sudah tidak tahan.
Kesendirian ini sudah begitu menyiksa.
”Kapan terakhir
kali kita benar-benar bersama? Belakangan ini hampir tak pernah. Aku
benar-benar merindukanmu. Aku tidak siap kehilangan...”
”Kamu ngomong apa
sih? Aku masih di sini, Fanny.” sergahmu.
”Kamu memang
masih ada, tapi aku tidak bisa merasakanmu...” kataku setengah ngotot. Bayangan
diriku yang terengah sendirian, padahal aku masih memilikinya terasa begitu
menyesakkan sekarang.
”Kamu tahu aku
tidak bisa...”
”Kamu masih
mencintaiku, Gi?”
Betapa perih
dadaku ketika harus mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang begitu tabu
bagiku yang selama ini sudah sangat yakin dengan cintanya padaku. Kata-kata
yang harusnya tak perlu kuucapkan karena aku bisa langsung membaca jawaban yang
terpancar jelas di sekelilingnya.
”Kenapa kamu
tanyakan itu? Apakah harus...”
”Karena aku tidak
bisa membacamu lagi...”
Bersamaan dengan
itu air mataku meluncur. Aku tidak menunggu jawabannya. Langsung mengakhiri
semuanya. Entah kenapa aku merasa tidak cukup kuat dengan jawaban yang mungkin
sudah menggantung di ujung bibirnya di sana.
Aku menyerah pada
tangis yang sekarang tertawa penuh kemenangan setelah sekian lama menanti-nanti
saat ini. Aku pasrah diombang-ambingkan pada perasaan yang membuncah namun
bukan berisi cinta. Hanya perih dan nestapa yang menguar di sana. Rasa sesal dan
kecewa menyatu campur aduk.
Tapi dia tidak
muncul. Egi-ku.
***
Sejak itu kami
jadi semakin jauh. Aku memilih diam dan dia terlalu keras kepala untuk
mendekat. Sosoknya sekarang hanya berupa bayangan samar di mataku yang suatu
ketika akan benar-benar menghilang tak berbekas serupa kabut.
Aku menahan keinginan untuk menceritakan semua ini kepada Ratri, tidak sanggup menerima komentarnya yang pedas. Tidak siap dihakimi lagi olehnya. Aku tahu apa yang akan dia katakan jika tahu situasi kami sekarang. Dan aku tidak ingin mendengarkan sarannya sekarang. Aku masih
terlalu mencintai Egi dan tak sanggup berpikir untuk melepasnya.
Maka siang ini
aku langsung menuju ke kantornya tanpa lebih dulu memberitahunya. Ketika tiba,
ternyata dia tidak ada di tempat. Aku pun menunggu di ruangannya yang nyaman. Sudah
sangat lama aku tidak berkunjung ke tempat ini. Mengamati seisinya yang sudah
jauh berubah. Dindingnya yang semula berwarna putih sekarang berwarna jingga.
Bukan warna kesukaanku, tapi tidak mengapa. Sofanya juga sudah berganti. Rak
bukunya juga sudah penuh. Untuk sesaat aku merasa asing.
Aku menghampiri
meja kerjanya. Jantungku mencelos ketika tidak menemukan foto kami yang dulu
kuingat bertengger manis di sana. Bingkai yang bertengger masih sama, tapi foto
yang mengisinya sudah berbeda. Dengan tangan gemetar aku meraihnya.
Mengeluarkan foto itu dari sana lalu menyimpannya di dalam tas lalu langsung
bergegas pulang.
Dan saat itu
tatapan mata Ratri membayangiku. Menghakimiku. Aku yang tumpul. Aku yang
terlalu naif. Semua beradu, bergumul di benakku menciptakan percik membara.
Seperti badai,
dia muncul sesaat kemudian.
”Hari ini kamu
pulang lebih awal?” tanyaku sinis. Sekarang dia duduk di hadapanku.
”Fanny, aku bisa
menjelaskan semua.”
”Menjelaskan
tentang apa? Apalagi yang harus kudengar?”
”Semua tidak
seperti yang kau pikirkan. Aku...”
”Tidak usah
menjelaskan apa-apa lagi. Aku yang terlalu bodoh dan lamban untuk menyadari
semuanya sebelum terlambat.”
”Masih belum
terlambat.” Aku menatapnya. Sudah sejauh ini dan dia masih bilang belum
terlambat?
”Kau bukan
Egi-ku.”
”Fanny, aku...” Dia
terbata. Aku hanya menggeleng.
”Seharusnya aku
sadar saat kau tak lagi terbaca olehku. Kau bukan Egi-ku. Kau orang lain. Egi
tidak akan melakukan ini padaku. Kau bukan dia!” Tangannya terulur ingin
meraihku, tapi langsung kutepis.
Ya, aku bisa menduga bagaimana semuanya terjadi. Tentang wasiat orang tuanya, perjodohan dan pernikahannya dengan
laki-laki itu, hingga kehadiran buah hati yang semuanya dengan begitu lihai dia
sembunyikan dariku selama ini. Rahim siapa yang dia pinjam untuk menyembunyikan kenyataan itu dariku? Dia memang sangat beruntung memiliki aku yang
begitu tolol sehingga akan menerima apa pun darinya bulat-bulat.
”Aku mencintai
kamu, Fan. Aku...”
”Jangan berpikir
untuk meninggalkan mereka. Jika kamu memang mencintaiku, maka aku bukanlah
orang terakhir yang boleh tahu kebenaran ini. Jika kamu memang mencintaiku,
maka kamu akan mempercayakan beban itu ke pundakku juga.”
Dia diam.
Terhenyak.
”Pulanglah. Rumahmu
bukan di sini.” kataku dalam ketenangan yang menakjubkan. Dia hanya membisu,
tak bergerak. ”Anak itu lebih butuh kamu. Aku akan baik-baik saja.” imbuhku
lagi. Tanganku terulur menyerahkan foto itu kepadanya. Dia menerimanya
ragu-ragu.
Setelahnya aku
memalingkan muka. Tidak ingin tatapannya mengubah keputusanku. Ini yang terbaik
buat kami. Dia kembali kepada keluarga kecilnya dan berbahagia bersama mereka,
tanpa aku. Entah sejak kapan.
”Aku akan
kembali, Fan...” ujarnya sebelum berlalu di balik pintu yang menutup. Aku hanya tersenyum getir. Setelahnya aku bangkit dengan sisa-sisa
tenagaku masuk ke kamar. Mengamati koper yang sudah tersusun rapi.
Aku hanya ingin
menghilang.
Menyusul ksatria yang sudah mendahuluiku.
Menyusul ksatria yang sudah mendahuluiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar