“Kamu tidak lupa rencana kita malam ini, kan?”
Aku menghela
napas. Jadi sepagi ini dia menelepon cuma untuk mengingatkan hal itu? ”Ya. Aku
tidak lupa.” sahutku.
”Ok. Setelah
urusanmu kelar aku jemput.” ujarnya lagi.
”Iya... Iya...”
sahutku rada kesal. Dia tertawa lalu membujukku sebelum akhirnya telepon kami
akhiri dengan senyum menghiasi bibirku.
Aku merebahkan diri di ranjang. Setelah sebulan belakangan dirundung gelisah
bercampur ragu sehingga mengulur-ulur waktu, saatnya pun tiba. Malam ini. Apakah kali ini
aku benar-benar sudah siap? Tapi siapa sih yang bisa benar-benar siap? Ah,
sudahlah. Siap tidak siap malam ini aku akan menuntaskan semuanya.
***
Sapu tangan yang
menutupi sepasang mataku sudah dilepas, tapi mataku masih terpejam menunggu
instruksinya. Napasnya menyapu hangat telinga kiriku, “Buka matamu…”
Mataku perlahan
terbuka dan untuk sesaat napasku tertahan. Di hadapanku sudah menanti sebentuk
keik ulang tahun yang indah lengkap dengan lilin yang menyala. Mataku langsung
berkaca-kaca. Dengan lembut dia menggenggam jemariku. ”Selamat ulang tahun,
Bella... I love you.”
Aku seolah
kehilangan kata-kata. Hanya mengangguk lalu mengecup pipinya. Setelahnya dia
menyemangatiku untuk berdoa. Aku pun kembali memejamkan mata. Berdoa sekaligus menyebutkan
harapanku. Satu-satunya harapan yang kuinginkan sekarang hanyalah agar semuanya
bisa tuntas malam ini. Setelahnya dengan sekali tiup lilin yang tadinya menyala
pun padam sudah, menyisakan asap tipis di ujung-ujungnya.
”Wah, harapanmu
bakal terkabul tuh!” cetusnya penuh semangat.
”Amin...”
sahutku.
”Sekarang
waktunya makan malam. Keik menyusul belakangan, ya? Aku juga sudah nyiapin film
yang bagus. Kita bisa makan keik sambil nonton bareng...”
Tanpa buang waktu
dia segera menyisihkan keik, lalu dengan trampil membentangkan serbet di pahaku
dan kami pun menikmati makan malam yang sudah dia siapkan. Dia terlihat sangat
bersemangat malam ini. Wajahnya berpendar tersaput bahagia yang tak repot-repot
dia tahan. Suaranya yang ceria mengisi ruangan yang hanya berisi kami berdua
serupa letupan-letupan kembang api, berlomba-lomba dengan kebisingan yang
memenuhi kepalaku.
Seusai makan
malam, aku tidak kuasa menolak ajakannya untuk berdansa diiringi musik syahdu
yang sayup-sayup. Tubuh-tubuh kami menempel dekat. Lekat di dalam pelukan yang merekat
erat. Tidak ada kata-kata. Tidak perlu kata-kata. Degub jantungnya yang
menempel di telingaku sudah cukup. Degub yang begitu tenang melenakan, namun tetap
tidak dapat menenangkan sesuatu di dadaku yang terus saja meruyak ingin keluar.
Aku mendongak
menatap matanya. Mata coklatnya yang hangat. Menimbang-nimbang lagi dalam hati.
Apakah sekarang saatnya? Atau bukan? Menangkap keraguanku, gerakan kami pun
terhenti. Selama beberapa saat kami hanya diam, sementara musik syahdu masih
terus mengalun.
”Kamu nggak
apa-apa, Bell?” tanyanya lembut. Ditanya begitu aku hanya sanggup menggeleng
meski langsung melerai pelukannya. Berjalan menjauh lalu menghenyakkan diri ke
sofa. Dia mengikutiku.
”Bella...”
”Maaf, aku tidak
bermaksud... Danny, aku senang dengan semua yang kaulakukan untukku malam ini,
tapi...” Kata-kataku masih tercekat sementara dengan sabar dia menantiku yang
masih kerepotan mengurai kalimat. Padahal sudah berkali-kali aku melatihnya,
tapi tetap saja...
Dia berlutut lalu
meraih tanganku. Meremasnya lembut. ”Katakanlah...”
Aku kembali
menatapnya. Apakah memang sekarang saatnya? Apakah...
”Hans mengajakku
untuk memulai lagi...” Sepasang alisnya langsung bertaut dan binar yang semula
mengisi matanya pun mulai redup. Meskipun genggamannya masih bertahan, seolah
memberiku kekuatan untuk melanjutkan atau dia terlalu tak bertenaga untuk
memindahkannya.
”Dan aku bersedia
untuk memulai lagi dengannya... Aku masih dan mungkin memang akan terus
mencintainya...”
Palu diketukkan
sudah. Kata-kata itu meluncur sudah dari sela bibirku dan tak akan kutarik
lagi. Seperti tebasan sang algojo yang tanpa belas kasihan mengakhiri
kehidupan dengan sekali ayunan. Meskipun aku tahu dengan pasti melukainya
seperti ini adalah hal yang sebenarnya sangat kubenci. Dia yang sudah begitu sepenuh
hati menjagaku selama masa-masa keterpurukanku.
Tapi bukankah
selama ini aku juga sedang membunuhnya perlahan dengan terus-terusan
membohonginya? Berpura-pura menerima cintanya padahal dengan sadar hanya
memperalatnya untuk melipur perih dari luka yang digoreskan laki-laki itu. Dengan
berdarah dingin memanfaatkannya hanya untuk mengisi kekosongan sementara hingga
tiba waktunya sang pemilik yang sah menempatinya kembali.
Apapun itu.
Keadaan tidak akan berbeda baginya. Dia tetap menjadi pihak yang terluka.
”Maafkan aku...”
Dia menggeleng.
”Aku sadar selama
ini hanya menumpang sementara di hatimu. Cintamu masih begitu besar untuknya. Jadi...
Aku memang harus siap kapan pun dia muncul dan mendepakku keluar dari hidupmu.”
Senyum pahit menggores bibirnya. ”Dan sepertinya sekaranglah waktunya.”
Aku balas meremas
tangannya, seolah dengan begitu luka yang kugoreskan akan sedikit membaik. ”Kau
berhak mendapatkan yang lebih baik, Dan. Suatu hari kau akan bertemu
dengannya.” hiburku.
”Benarkah?” Mata
coklatnya menembus tatapanku. Dengan yakin aku mengangguk. Dia mengangguk tapi
tanpa keyakinan.
Klakson mobil yang
menjerit dua kali di depan rumah seolah menjadi penanda waktuku dengannya benar-benar
sudah usai. Hans sudah tiba sesuai janjinya. Tanpa buang waktu aku segera
berkemas diikuti pandangannya.
”Aku harus pergi
sekarang...” ujarku. Dia mengangguk tapi tidak bergerak dari posisinya hingga
akhirnya aku menutup pintu yang memisahkan kami. Menghampiri Hans yang dengan
senyum terkembang menyambutku.
Aku menyambut
senyumnya. Mencium pipinya.
”Aku sudah
reservasi restoran untuk merayakan malam yang istimewa ini.” Aku hanya mengangguk. Ya. Rayakanlah. Malam ini pasti terlalu istimewa, sayang dilewatkan begitu saja.
Sekilas bayangan
asap tipis di atas lilin muncul di benakku.
Harapanku
benar-benar terkabul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar