Sabtu, 01 September 2012

Sang Algojo


“Kamu tidak lupa rencana kita malam ini, kan?”
Aku menghela napas. Jadi sepagi ini dia menelepon cuma untuk mengingatkan hal itu? ”Ya. Aku tidak lupa.” sahutku.
”Ok. Setelah urusanmu kelar aku jemput.” ujarnya lagi.
”Iya... Iya...” sahutku rada kesal. Dia tertawa lalu membujukku sebelum akhirnya telepon kami akhiri dengan senyum menghiasi bibirku.

Aku merebahkan diri di ranjang. Setelah sebulan belakangan dirundung gelisah bercampur ragu sehingga mengulur-ulur waktu, saatnya pun tiba. Malam ini. Apakah kali ini aku benar-benar sudah siap? Tapi siapa sih yang bisa benar-benar siap? Ah, sudahlah. Siap tidak siap malam ini aku akan menuntaskan semuanya.

***
Sapu tangan yang menutupi sepasang mataku sudah dilepas, tapi mataku masih terpejam menunggu instruksinya. Napasnya menyapu hangat telinga kiriku, “Buka matamu…”

Mataku perlahan terbuka dan untuk sesaat napasku tertahan. Di hadapanku sudah menanti sebentuk keik ulang tahun yang indah lengkap dengan lilin yang menyala. Mataku langsung berkaca-kaca. Dengan lembut dia menggenggam jemariku. ”Selamat ulang tahun, Bella... I love you.”

Aku seolah kehilangan kata-kata. Hanya mengangguk lalu mengecup pipinya. Setelahnya dia menyemangatiku untuk berdoa. Aku pun kembali memejamkan mata. Berdoa sekaligus menyebutkan harapanku. Satu-satunya harapan yang kuinginkan sekarang hanyalah agar semuanya bisa tuntas malam ini. Setelahnya dengan sekali tiup lilin yang tadinya menyala pun padam sudah, menyisakan asap tipis di ujung-ujungnya.

”Wah, harapanmu bakal terkabul tuh!” cetusnya penuh semangat.
”Amin...” sahutku.
”Sekarang waktunya makan malam. Keik menyusul belakangan, ya? Aku juga sudah nyiapin film yang bagus. Kita bisa makan keik sambil nonton bareng...”

Tanpa buang waktu dia segera menyisihkan keik, lalu dengan trampil membentangkan serbet di pahaku dan kami pun menikmati makan malam yang sudah dia siapkan. Dia terlihat sangat bersemangat malam ini. Wajahnya berpendar tersaput bahagia yang tak repot-repot dia tahan. Suaranya yang ceria mengisi ruangan yang hanya berisi kami berdua serupa letupan-letupan kembang api, berlomba-lomba dengan kebisingan yang memenuhi kepalaku.

Seusai makan malam, aku tidak kuasa menolak ajakannya untuk berdansa diiringi musik syahdu yang sayup-sayup. Tubuh-tubuh kami menempel dekat. Lekat di dalam pelukan yang merekat erat. Tidak ada kata-kata. Tidak perlu kata-kata. Degub jantungnya yang menempel di telingaku sudah cukup. Degub yang begitu tenang melenakan, namun tetap tidak dapat menenangkan sesuatu di dadaku yang terus saja meruyak ingin keluar.

Aku mendongak menatap matanya. Mata coklatnya yang hangat. Menimbang-nimbang lagi dalam hati. Apakah sekarang saatnya? Atau bukan? Menangkap keraguanku, gerakan kami pun terhenti. Selama beberapa saat kami hanya diam, sementara musik syahdu masih terus mengalun.
”Kamu nggak apa-apa, Bell?” tanyanya lembut. Ditanya begitu aku hanya sanggup menggeleng meski langsung melerai pelukannya. Berjalan menjauh lalu menghenyakkan diri ke sofa. Dia mengikutiku.

”Bella...”
”Maaf, aku tidak bermaksud... Danny, aku senang dengan semua yang kaulakukan untukku malam ini, tapi...” Kata-kataku masih tercekat sementara dengan sabar dia menantiku yang masih kerepotan mengurai kalimat. Padahal sudah berkali-kali aku melatihnya, tapi tetap saja...
Dia berlutut lalu meraih tanganku. Meremasnya lembut. ”Katakanlah...”

Aku kembali menatapnya. Apakah memang sekarang saatnya? Apakah...
”Hans mengajakku untuk memulai lagi...” Sepasang alisnya langsung bertaut dan binar yang semula mengisi matanya pun mulai redup. Meskipun genggamannya masih bertahan, seolah memberiku kekuatan untuk melanjutkan atau dia terlalu tak bertenaga untuk memindahkannya.

”Dan aku bersedia untuk memulai lagi dengannya... Aku masih dan mungkin memang akan terus mencintainya...”

Palu diketukkan sudah. Kata-kata itu meluncur sudah dari sela bibirku dan tak akan kutarik lagi. Seperti tebasan sang algojo yang tanpa belas kasihan mengakhiri kehidupan dengan sekali ayunan. Meskipun aku tahu dengan pasti melukainya seperti ini adalah hal yang sebenarnya sangat kubenci. Dia yang sudah begitu sepenuh hati menjagaku selama masa-masa keterpurukanku.

Tapi bukankah selama ini aku juga sedang membunuhnya perlahan dengan terus-terusan membohonginya? Berpura-pura menerima cintanya padahal dengan sadar hanya memperalatnya untuk melipur perih dari luka yang digoreskan laki-laki itu. Dengan berdarah dingin memanfaatkannya hanya untuk mengisi kekosongan sementara hingga tiba waktunya sang pemilik yang sah menempatinya kembali.

Apapun itu. Keadaan tidak akan berbeda baginya. Dia tetap menjadi pihak yang terluka.

”Maafkan aku...” Dia menggeleng.
”Aku sadar selama ini hanya menumpang sementara di hatimu. Cintamu masih begitu besar untuknya. Jadi... Aku memang harus siap kapan pun dia muncul dan mendepakku keluar dari hidupmu.” Senyum pahit menggores bibirnya. ”Dan sepertinya sekaranglah waktunya.”

Aku balas meremas tangannya, seolah dengan begitu luka yang kugoreskan akan sedikit membaik. ”Kau berhak mendapatkan yang lebih baik, Dan. Suatu hari kau akan bertemu dengannya.” hiburku.
”Benarkah?” Mata coklatnya menembus tatapanku. Dengan yakin aku mengangguk. Dia mengangguk tapi tanpa keyakinan.

Klakson mobil yang menjerit dua kali di depan rumah seolah menjadi penanda waktuku dengannya benar-benar sudah usai. Hans sudah tiba sesuai janjinya. Tanpa buang waktu aku segera berkemas diikuti pandangannya.
”Aku harus pergi sekarang...” ujarku. Dia mengangguk tapi tidak bergerak dari posisinya hingga akhirnya aku menutup pintu yang memisahkan kami. Menghampiri Hans yang dengan senyum terkembang menyambutku.

Aku menyambut senyumnya. Mencium pipinya.
”Aku sudah reservasi restoran untuk merayakan malam yang istimewa ini.” Aku hanya mengangguk. Ya. Rayakanlah. Malam ini pasti terlalu istimewa, sayang dilewatkan begitu saja.

Sekilas bayangan asap tipis di atas lilin muncul di benakku.
Harapanku benar-benar terkabul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar