Selasa, 03 Juli 2012

Cerpen : Yang Terindah


Bagian tubuh mana yang paling kalian sukai?
Bagian tubuh mana yang kalian rasa paling indah?
Bagian tubuh mana yang membuat kalian tergila-gila?

Mata? Bibir? Dagu? Geligi? Alis? Payudara yang montok? Pinggul yang serupa gitar? Atau gundukan serupa perut padi di tungkainya?

Menurutku bagian terindah di tubuh kekasihku adalah tangannya. Bukan lengan. Hanya tangan yang dibatasi oleh pergelangan yang ramping. Tangan dengan jari lentik yang bergerak lincah. Jari lentik yang dihiasi kuku sehat mengkilap berwarna merah muda. Kuku-kuku yang tidak harus panjang tapi terawat baik. Aku bisa begitu tergila-gila sehingga waktu saat bersamanya habis untuk bermesraan dengan tangannya yang indah. Tangan yang tidak akan bosan-bosannya kuciumi, kubelai, kujilat dan apa pun sekedar untuk menunjukkan kecintaanku.

”Aku rasa kita tidak bisa meneruskan hubungan ini,” kata kekasihku kemarin malam. Saat itu makan malam yang kusendokkan langsung terhenti di udara. Dia menarik tangannya dari genggamanku. Menyisakan kekecewaan.

Kenapa? Pertanyaan itu hanya muncul di kepalaku. Aku tidak melontarkannya. Mataku hanya bisa pasrah mengikuti gerakan tangannya yang berpindah-pindah. Meraih gelas berisi anggur lalu meneguk isinya. Meraih serbet untuk mengusap sisa-sisa cairan yang mungkin belepotan dari bibirnya. Bibir yang mungkin tidak pernah kulumat dan kuciumi sesering jari-jarinya.

”Kenapa kau hanya diam?” tegurnya lagi. Pertanyaan aneh sebenarnya. Apa yang harus kukatakan jika memang itulah keinginannya? Selain rasa sedih karena harus berpisah dengan tangan indah miliknya, tidak ada perasaan lain yang muncul di benakku.
”Aku tidak akan menentang keinginanmu,” ujarku akhirnya sembari menyuapkan makan malamku. Mengunyahnya dengan tenang. Dia masih menatapku, menungguku melanjutkan, ”Tapi lusa kamu berulang tahun dan aku sangat ingin merayakannya bersama...”

Sekilas aku bisa melihat gurat tidak tega muncul di matanya yang bening. Jari-jarinya juga sekarang bergerak gelisah. Dia menggigit bibirnya sebelum akhirnya mendecak. Mungkin dia sedang bimbang antara mengabulkan harapanku atau tidak.

”Hanya sampai lusa.” ujarku lagi.

Akhirnya dengan desah kalah dia mengangguk. Aku tersenyum lega. Aku tidak ingat pernah ada perempuan yang bisa benar-benar menolakku dalam sekali usaha. Mungkin karena aku terlalu mempesona atau ngotot? Entahlah. Tanganku kembali terjulur meraih tangannya. Meremasnya lembut. Dia hanya diam, namun tidak menolak. Biasanya aku akan memintanya berlama-lama atau menginap hanya agar aku bisa berdekatan terus dengan tangannya yang indah, tapi malam itu aku memilih untuk mengalah. Aku tidak ingin membuatnya berubah pikiran.

***
’Kasus korban mutilasi yang potongan sebelah kakinya ditemukan di tong sampah minggu lalu masih ditelusuri. Setelah kepala korban yang berhasil ditemukan dua hari yang lalu, hingga hari ini polisi masih berusaha mencari potongan tubuh korban yang lain...’

Aku bergidik ngeri lalu berpindah ke saluran lain. Wah, masih berita yang sama. Akhirnya aku mematikan televisi lalu turun ke bawah. Mengisi gelas dengan air putih lalu meneguknya. Hari ini aku sengaja tidak masuk kerja karena ingin mempersiapkan semua dengan baik. Meskipun mungkin hari ini adalah terakhir kali kami bersama, aku tetap ingin menyisakan kenangan manis di benaknya.

Aku sudah memesan tempat di restoran kesukaannya. Setidaknya di sana nanti aku bisa sepuasnya menggenggam tangannya. Aku aku memuaskan diri sebelum akhirnya kami benar-benar berpisah. Kado buatnya juga sudah kusiapkan. Sebuah gelang emas dengan aksen kristal. Tangannya yang indah akan semakin berkilau dengannya.

Koran pagi yang belum kubaca masih tergeletak di meja. Aku meraihnya. Lagi-lagi tentang kasus mutilasi yang sama. Di sana juga disebutkan pendapat para psikolog tentang pelaku jika dilihat dari proses mutilasi yang dilakukan.

’Pelaku merusak wajah korban, bisa dijadikan indikasi bahwa pelaku dan korban sebenarnya saling mengenal...’

Aku manggut-manggut lalu merenung. Seperti apa perasaan pelaku saat melakukan semua itu kepada orang yang dia kenal? Apa yang membuatnya bisa semarah itu? Apalagi sampai harus memotong-motong tubuh korbannya sedemikian rupa. Ck ck ck... Tidak terbayangkan sama sekali situasi saat itu. Aku meneruskan membaca.

’Kasus yang terakhir ini bukanlah yang pertama. Dalam setahun belakangan sudah ada tiga kasus yang mirip, namun hingga kini polisi tidak berhasil mengumpulkan semua bagian tubuh para korban...’

Kedua alisku sekarang bertaut. Jadi ini kasus pembunuhan berantai? Jadi sudah bukan hanya karena tersulut amarah, pelaku juga ketagihan memotong-motong tubuh korbannya? Korban yang semuanya perempuan muda.

Pikiranku melayang kepada kekasih yang sebentar lagi akan menyudahi statusnya sebagai milikku. Perempuan muda yang selama ini sering diincar karena kemolekannya. Semua berlomba-lomba ingin memilikinya. Ingin mencicipi madunya. Meskipun akhirnya aku yang berhasil memenangkannya, tapi ternyata bukan aku pemenang sejatinya. Bagaimana kalau nanti setelah dia sendiri lagi, ada laki-laki psikopat yang mendekatinya? Dengan rayuan manis berhasil mendapatkannya lalu setelah bosan langsung dicabik dan dipotong-potong?

'Bagian yang masih belum ditemukan adalah sepasang tangan dari masing-masing korban...'

Aku langsung membanting koran itu.

***
Aku mencium kedua pipinya dengan lembut sebelum membantunya duduk selayaknya sikap seorang gentleman lalu duduk di tempatku. Dia terlihat sangat cantik malam ini. Entah hanya karena pencahayaan restoran yang syahdu. Tapi kekasihku memang selalu terlihat cantik mempesona setiap kali kami bertemu. Terlebih lagi jemari lentiknya.

Kami segera memesan lalu tanganku langsung bersilaturahmi dengan jemarinya. Mengusap-usap lalu meremasnya penuh kerinduan. Dia tidak menolak. Dia pasti sama denganku yang ingin benar-benar menikmati momen ini sepenuhnya meskipun kami sama-sama tahu setelah malam ini kami bukan lagi siapa-siapa. Kenyataan itu tidak urung menyesakkanku.

Anggur pesanan sudah tiba. Pelayan membantu menuangkannya ke gelas kami masing-masing. Kami meraihnya lalu bersulang bersama. ”Selamat ulang tahun, sayangku...” bisikku. Dia tersenyum seraya mengangguk. Musik yang mengalun syahdu semakin membuat riak-riak di relungku bertebaran. Hatiku goyah. Makanan pesanan kami sudah tiba dan kami menikmatinya dalam keheningan meskipun benakku riuh rendah dengan segala pikiran aneh dan pertanyaan yang hilir mudik.

Kenapa aku langsung mengabulkan keinginannya? Kenapa aku tidak menanyakan alasannya ingin berpisah dariku? Dan sekarang ada psikopat gila di luar sana. Bagaimana jika dia berhasil merayu perempuan di hadapanku ini?

”Meskipun ini hari terakhir... Tapi karena kamu berulang tahun, aku tetap membelikanmu hadiah.” ujarku. Dia tidak terlalu terkejut. Tentu saja. Menerima hadiah saat kita berulang tahun adalah hal yang wajar, kan? Aku mengeluarkan kotak mungil dari saku. Membukanya dan matanya berbinar melihat gelang yang dengan hati-hati kusematkan di pergelangan tangannya diikuti kecupan.
”Terima kasih... Gelangnya sangat indah...” Aku hanya tersenyum.
”Mungkin kau akan langsung menolak, tapi aku tidak bisa jika tidak menanyakannya...” cetusku ragu-ragu. Tapi tatapannya yang tidak menyiratkan apa pun memberiku kekuatan untuk meneruskan, ”Apa kamu bersedia menghabiskan malam ini bersama?”

***
Udara sejuk yang dialirkan pendingin ruangan di kamarku ini tidak mampu meredakan hawa panas yang menguar di antara pergumulan kami. Mungkin itu pengaruh anggur yang kami teguk lagi beberapa saat yang lalu. Aku mencecapkan lidahku ke seluruh penjuru tubuh moleknya. Tanganku tidak melepaskan tangannya saat akhirnya kami menyatu.

Perempuan ini memang untukku. Kami begitu pas. Tidak terpisahkan. Dibandingkan perempuan-perempuan lain yang pernah singgah di hidupku, hanya dia yang rasanya tidak akan pernah puas-puas kunikmati. Semua sentuhan di antara kami hanya berisi kenikmatan yang tidak akan pernah puas kami reguk. Relungnya adalah tempat paling hangat yang sangat enggan kutinggalkan meskipun sudah tidak terhitung lagi banyaknya kunjunganku.

Tangan-tangan kami semakin kencang bertautan seiring dengan lenguhan dan hentakan yang semakin cepat. Kami akan segera tiba di sana. Melayang bersama-sama di tumpukan awan warna-warni. Ketika akhirnya kami kembali lagi ke bumi, aku mencium  bibirnya lembut. Dia tersenyum dengan gurat kepuasan di sekujurnya.

”Aku mencintaimu...” bisikku. Mungkin sudah terlalu terlambat mengucapkannya sekarang. Buktinya dia tidak menjawab hanya menarikku lebih dekat ke dalam pelukannya. Napasnya yang memburu sudah lebih tenang dan kami hanya diam berpelukan di sana. Aku tahu tidak lama lagi dia akan terlelap. Tapi tidak mengapa selama dia terlelap aku akan sepuasnya memandangi rautnya. Bercumbu dengan tangannya. Karena mulai besok kami bukan siapa-siapa lagi.

Aku berguling lalu bertelekan siku memandang rautnya yang damai dibuai mimpi. Dia memang begitu indah. Bahkan remangnya malam tidak dapat menutupi pendarnya. Tanganku terulur membelai wajahnya lalu mengecup matanya yang terpejam. Pandanganku lalu beralih ke tangannya yang sekarang dihiasi gelang pemberianku. Aku meraihnya. Mengusap-usapkan tangannya ke pipiku. Tangannya yang hangat dan lembut. Tangan yang berlumur cinta di setiap jengkal kulitnya itu pun kuciumi. Air mataku menitik.

Kenapa baru sekarang aku rasakan semua sakit ini? Apakah karena waktu yang akan semakin menipis di antara aku dan dirinya? Dengan tangan terindah yang tergolek pasrah di genggamanku? Kenapa aku tidak menolak? Kenapa?

”Jika perpisahan ini yang terbaik, maka aku akan mengabulkannya. Tapi aku tidak sanggup kehilangan...” bisikku di telinganya. Ya itu adalah pengakuanku yang paling jujur. Aku terlalu mencintai tangan indah miliknya dan sekarang aku tidak sanggup jika dipaksa untuk berpisah.

”Aku tidak akan menyakitimu. Aku janji. Kekasihku...”

Dia hanya terlelap. Tidak menyahut. Tidak juga bereaksi. Tidak mengapa. Aku tidak akan mengusiknya lagi. Dia berhak untuk bahagia dengan pilihannya sendiri. Demikian juga aku. Kami sama-sama berhak meraih kebahagiaan kami masing-masing tanpa harus menyakiti lagi. Dia berbeda dari perempuan-perempuan yang sebelumnya. Dia paling istimewa dibandingkan mereka. Maka aku tidak akan menyakitinya seperti yang lain. Dia lebih terhormat dibanding mereka.

Aku terbangun kala fajar mulai merayap naik. Kekasihku masih terlelap. Aku bergegas menyiapkan air hangat untuk membasuh sekujur tubuhnya. Membersihkannya dari sisa-sisa pergumulan tadi malam sembari bersenandung lembut. Mataku menyapu sekujur tubuhnya yang sekarang sudah bersih dengan puas.

Setelahnya aku mengumpulkan pakaian kami yang berserakan lalu memasukkannya ke dalam kantungan yang sudah kusiapkan. Aku membawanya keluar untuk membereskannya nanti. Merapikan gelas berisi anggur di meja bar. Membuang sisa anggur yang masih ada bersama-sama dengan kantung plastik mungil dengan jejak serbuk di dalamnya. Serbuk ajaib yang kubeli kemarin. Aku hanya ingin dia terpulas di kamarku tanpa harus meributkan waktu pulang. Dan seperti harapanku serbuk itu sangat manjur. Buktinya hingga sekarang kekasihku masih asik terbuai mimpinya yang abadi. Aku tersenyum lalu mengecup keningnya. Tidak bergidik dengan rasa asin dan anyir yang menghampiri lidahku.

Ada selusin kantung plastik berwarna hitam yang masih terlipat rapi di sisi ranjang. Jumlah standar yang selalu kusiapkan. Pas untuk masing-masing bagian tubuhnya yang molek, selain tangannya yang akan tetap tinggal untuk kumiliki. Mataku berbinar penuh kebahagiaan menatap sepasang tangan indah yang sebelahnya masih berhias gelang emas dengan aksen kristal yang tergolek diam di pangkuanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar