"Pokoknya Cel nggak mau punya mama
baru!"
Selena, putri semata wayangku
yang masih cadel meskipun sudah duduk di kelas dua Sekolah Dasar itu dengan suaranya
yang nyaring mengultimatumku. Untuk sesaat aku hanya tertegun di ambang pintu
seperti seekor rusa yang terpojok sebelum tersenyum dalam hati melihat
tingkahnya. Layaknya panglima perang Indian dengan wajah tercoreng-moreng bedak,
dia berdiri gagah sembari berkacak pinggang.
"Emangnya siapa yang
ngomong soal mama baru ke Sel?" tanyaku lembut. Kuletakkan tas kerjaku di
meja lalu kuraih tangannya. Kami duduk berdua di sofa dan dengan lembut kubelai
rambutnya yang lebat seraya merapikan bedaknya.
Seingatku belum pernah sekali
pun aku mengutarakan niat untuk menghadirkan seorang perempuan di antara kami. Lagi
pula sampai sekarang memang aku merasa belum ada perempuan yang cukup pantas
untuk menggantikan Wulan, Mama Selena, yang wafat tiga tahun yang lalu akibat
ulah pengendara motor yang ugal-ugalan. Kehilangan yang masih terus membekas
hingga sekarang.
"Tante Mel yang bilang.
Katanya tidak lama lagi Cel akan punya mama baru. Pokoknya Cel nggak mau,
Pa!" rajuknya. Aku mengangguk-angguk sabar.
Duh! Apa-apaan lagi sih,
adikku yang satu itu? Aku membatin. Hal ini memang bukan baru kuketahui karena hampir
setahun belakangan ini keluargaku dan mertuaku mulai menanyakan niatku untuk
menikah lagi. Alasan mereka tentu saja Selena yang masih kecil sangat
membutuhkan kehadiran sosok Ibu. Padahal menurutku selama tiga tahun belakangan
ini aku lumayan berhasil menjalani peranku sebagai orangtua tunggal. Selena
juga tidak pernah keberatan meskipun hanya punya aku.
"Aku dan Selena
baik-baik saja berdua, Mel," demikian selalu alasan yang kuutarakan setiap
kali Mel mulai mengungkit topic yang satu itu. Namun bukannya berhenti, dari
hari ke hari, seperti kesurupan dia rutin menemuiku sambil membawa foto-foto
perempuan yang dirasanya paling pas untuk mendampingiku dan Selena.
"Emangnya kamu nggak
kasihan ke Selena? Dia tetap butuh seorang ibu. Lagi pula belakangan ini kamu
semakin sibuk di kantor. Cuma mengharap Bi Minah yang merawat Selena? Itu egois
namanya."
Aku tahu keluargaku berniat
baik dan hanya mencemaskan pertumbuhan dan perkembangan Selena, tapi apakah
mereka lupa betapa sulitnya putriku itu menerima kepergian mama yang sangat
dicintainya itu? Berbulan-bulan dia tidak selera makan karena dia hanya mau
makan nasi dengan lauk sop buntut buatan mamanya. Sebuah permintaan kecil yang masih
kerap membuatku menitikkan air mata diam-diam. Meskipun akhirnya dia mulai bisa
menerima kenyataan tidak akan bisa merasakan sop buntut buatan mamanya lagi, aku
tahu patah hatinya masih belum sembuh benar sampai sekarang.
"Mama baru pasti jahat,
Pa. Dia pasti kejam ke Cel. Bisa-bisa Cel dijewer atau dicubit sampai biru-biru.
Atau Cel bakal dipaksa membersihkan seisi rumah setiap hari," cerocos
Selena membuyarkan pikiranku. Kali ini dia menatapku serius dengan matanya yang
bulat dan bening.
Hm, sepertinya aku harus
menyudahi pembicaraan yang semakin gelap ini.
"Eh, bukannya hari ini
Sel nerima rapor? Ayo, tunjukin ke Papa," cetusku mengalihkan topik
pembicaraan. Selena langsung melompat dari pangkuanku, berlari ke kamarnya lalu
kembali sembari menenteng tasnya. Namun saat aku ingin meraih tas bergambar
Hello Kitty itu, dia malah menariknya menjauh.
"Papa masih ingat janji
kalau nilai Cel bagus, kan?"
todongnya. Matanya berbinar-binar.
"Janji? Masa, sih? Janji
yang mana?" godaku.
Bibir mungilnya langsung
mengerucut. Aku tergelak lalu dengan secepat kilat kutangkap dia lalu mengurungnya
di dalam pelukan.
"Iya, Papa ingat, kok.
Janji kelingking, kan?"
"Pram, kamu jadi liburan ke Bali
bareng Selena, kan?"
tegur Ibuku. Tidak biasa-biasanya dia menyempatkan diri meneleponku ke kantor
di jam-jam sibuk seperti sekarang.
"Iya, Bu. Lusa
berangkat, kok."
"Ya sudah. Pas kalau
begitu. Kamu bisa sekalian ketemuan dengan keponakan Bu Broto. Dia kebetulan
tinggal di Nusa Dua. Dia jadi chef di
The Bay Bali, lho. Bu Broto udah ngabarin dia juga."
Aku langsung menghela napas
panjang.
Jujur saja, aku selalu
terkagum-kagum melihat keuletan ibuku dalam hal yang satu ini. Semangatnya
tidak pernah surut. Selalu saja ada celah yang bisa dimasukinya. Kenapa Ibu
tidak jadi politisi saja, ya? Soalnya sejauh ingatanku belum pernah ada yang bisa
berkelit atau menang kalau berdebat dengannya. Menyamai skor saja sulitnya
minta ampun.
"Tergantung Selena mau
main ke mana, Bu. Pram cuma ngikut," kilahku.
"Oh, Ibu udah nanya ke
Selena, kok. Dia ikut ke mana Papanya aja. Yang penting makan enak, katanya.
Haha… Cucuku yang satu itu memang ngegemesin…"
Aku ikut tertawa. Garing. Kenapa
Selena mendadak jadi anak manis, sih?
"Pram, untuk sekali ini
saja Ibu minta kamu jangan berpikir kami sedang memaksamu untuk menikah lagi
karena keputusan itu tetap ada di tanganmu. Tapi cobalah pikirkan masa depan
Selena."
"Iya, Bu..." Hanya
itu yang meluncur dari mulutku.
"Dan kali ini jangan
ngeles lagi. Soalnya Ibu nggak enak ke Bu Broto. Asal tahu saja, keponakannya
itu lumayan sibuk. Jadi Bu Broto sampe minta tolong gitu supaya dia mau nemenin
kalian selama liburan," cerocosnya lagi.
"Iya, Bu..."
sahutku lagi seraya menghela napas.
Pembicaraan akhirnya usai dan
kubayangkan ibuku berjingkrak-jingkrak kegirangan di seberang sana karena misinya berhasil.
Kuraih foto yang bertengger
manis di meja kerjaku. Wulan dan Selena kecil, bergandengan tangan, tersenyum
ke arahku. Foto itu kujepret sendiri saat kami sedang liburan di Kuta lima tahun yang lalu.
Kupandangi wajah mereka di foto itu dan dadaku langsung sesak. Kuhela napas,
sekadar untuk meredakan perasaan yang bergulung-gulung di dadaku.
Masih lekat di ingatanku
Selena kecil yang histeris melihat peti yang membungkus tubuh mamanya mulai
ditimbun tanah merah. Suaranya yang nyaring memintaku melarang mereka mengubur
mamanya tercinta. Tangisnya yang menyayat membuat semua orang yang hadir di
pemakaman kembali menitikkan air mata sementara aku tetap berusaha tegar
menghiburnya meskipun perasaanku sendiri sedang compang-camping kehilangan
perempuan yang kusayangi.
Pesawat yang membawa kami akhirnya
mendarat dengan mulus di bandara Ngurah Rai. Kubopong Selena yang masih tertidur
turun dari pesawat. Cahaya matahari petang yang menyengat memaksaku setengah
memicingkan mata. Setelah mengambil bagasi aku segera bergegas untuk mencari
taksi.
“Pak Pram?” sapa seseorang.
Suaranya yang merdu bergaung lembut di telingaku. Aku menoleh. Seorang
perempuan berkulit sawo matang berdiri tidak jauh dariku. Rambutnya yang
panjang dikuncir. Dia lalu tersenyum ramah memamerkan deretan giginya yang
indah seraya mengulurkan tangan, “Saya Tari.”
Ah, pastilah dia keponakan Bu
Broto yang diceritakan Ibu tempo hari. Kusambut uluran tangannya yang mantap. “Iya.
Maaf, kalau nanti kami jadi merepotkan dan panggil Pram saja.”
Selena yang sedari tadi
terkulai di gendonganku mendadak terbangun. Kuturunkan dia dari gendonganku.
Matanya masih sayu. Aku berlutut di sebelahnya. “Sel, kita udah nyampe. Kenalan
dulu sama Tante Tari, ya? Dia yang mau nemenin kita jalan-jalan, ” bisikku.
“Sekalian traktir…?” tanya
Selena malas-malasan. Aku langsung tergelak kikuk. Duh. Tampangku pasti sudah
warna-warni sekarang.
“Iya. Tante traktir makan
enak! Pokoknya tanggung beres!” sahut Tari.
“Ada sop buntut?” tanya Selena yang langsung
dijawab Tari dengan acungan jempol. “Lebih enak dari buatan Mama, nggak? Cel
paling suka sop buntut buatan Mama.”
“Wah… Jadi deg-degan, nih
nunggu penilaian Chef Selena,”
sahutnya kocak. Selena tergelak lalu kami bertiga meninggalkan bandara. Tanpa
canggung Tari menggandeng putriku sementara aku mengikuti dari belakang sembari
mendorong troli.
Ah, rasanya baru kali ini
pertemuanku dengan perempuan asing berjalan semulus ini, apalagi mengingat
embel-embel perjodohan di belakangnya. Namun, kuputuskan untuk mengikuti alur
yang baik ini tanpa beban. Lagi pula niatku sedari awal kan ingin memberikan Selena liburan yang
menyenangkan. Tidak lebih.
Selama di perjalanan aku
hanya jadi pendengar yang baik sementara Selena dan Tari asyik berceloteh. Perempuan
itu terlihat begitu alamiah menghadapi putriku. Dengan sabar Tari menjawab
pertanyaan-pertanyaan Selena yang tidak hanya sekali membuat telingaku
tersengat. Bagaimana tidak? Dengan lugas Selena bertanya apakah perempuan yang
baru kami kenal itu sudah menikah dan saat dijawab belum putriku yang cerewet
itu malah langsung bertanya kenapa. Jadilah aku hanya tertawa kikuk bin garing
di belakang. Aku tidak berani membayangkan bagaimana anggapan Tari terhadapku.
Dia pasti langsung menganggapku orangtua yang gagal.
“Pa, patung bebeknya lucu banget! Fotoin Cel, Pa!”
Aku mengacungkan jempol lalu mengeluarkan
ponselku. Kubidik Selena yang sudah terlebih dahulu bergaya di sisi patung.
Beberapa jepretan sekadar untuk memuaskannya.
“Sayang banget Mama nggak
ada. Jadi nggak bisa foto bareng Cel…” cetusnya murung.
“Wah, kamu beneran berbakat
jadi supermodel, lho Cel…” cetus Tari yang langsung membuat putriku yang narsis
itu kembali tersenyum lebar. Tak lupa dia juga mengikutiku menjepret Selena
lewat bidikan kamera ponselnya. Reaksinya yang cepat berhasil menyelamatkan mood Selena.
Sesuai janjinya, Tari memang
menemani kami berdua berkeliling restoran The Bay Bali dan yang terlebih dulu
kami singgahi adalah restoran Bebek Bengil yang menyambut kami dengan patung
bebek yang berkilauan indah di gerbangnya. Berbingkai-bingkai foto berisi
pejabat dan artis menghiasi dindingnya. Belum lagi lukisan-lukisan indah yang
turut memanjakan mata para tamu yang bersantap.
“Kalau suka menu bebek, di
sini jagoannya,” ujarnya berpromosi seolah tidak terganggu dengan kejadian
beberapa saat yang lalu.
Aku hanya mengangguk-angguk.
Toh tanpa perlu dia jelaskan ramainya pengunjung yang memenuhi deretan kursi di
restoran ini sudah cukup membuktikan ucapannya. Pramusaji terlihat sibuk dan
sigap berkeliling sembari menopang nampan berisi pesanan tamu. Suara tawa dan
dentingan alat-alat makan laksana irama musik di telingaku. Menerbitkan liurku.
“Kita makan sop buntut di
sini, Pa?” tanya Selena tiba-tiba.
“Oh, kalo yang satu itu harus
ke markas Tante, dong. Di Bumbu Nusantara.”
“Tapi Cel udah laper. Kita
makan di sini aja ya, Pa? Besok baru makan sop buntut Tante Tari,” sambung
putriku lagi.
“Nggak masalah. Jadi sekarang
Tante bisa pulang untuk siap-siap untuk bikin sop buntut yang paling istimewa
untuk Cel besok, ya?”
“Kenapa nggak makan malam
bersama kami saja?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dan untuk sesaat aku
terkejut sendiri. Namun, setelah segala kerepotan yang kami berikan untuknya
aku merasa wajar saja kalau malam ini gantian menjamunya sekadar bentuk
kesopanan.
“Besok aku harus bangun pagi-pagi
karena akan memandu kelas memasak untuk beberapa orang tamu,” ujarnya. Ah,
tentu saja. Dia adalah salah satu koki andalan di restoran ini. Lagi pula bagi
kami yang baru berkenalan, kebersamaan selama hampir seharian ini rasanya sudah
cukup.
“Sampai ketemu besok, Tante…”
ujar Selena lalu mereka berpelukan. Kami berdua berdiri di gerbang Bebek Bengil
hingga mobilnya menghilang dari pandangan. Setelahnya kami menempati salah satu
meja di restoran, bergabung dengan tamu lainnya.
“Tante Tari cantik banget ya,
Pa,” cetus Selena selagi kami menunggu pesanan. “Trus jago masak,” sambungnya
lagi.
“Sel suka sama Tante Tari?”
tanyaku hati-hati, teringat ultimatumnya tentang mama baru tempo hari. Menu pesanan kami mulai berdatangan dan Selena langsung menatap takjub minumannya yang
warna-warni.
“Suka. Apalagi kalau sop
buntutnya beneran kayak buatan Mama…” tandasnya tenang lalu menyeruput
minumannya dengan hati-hati.
Sampai sekarang belum ada
yang bisa menandingi rasa sop buntut buatan Wulan. Bahkan Bi Minah yang selama
ini membantu Wulan di dapur sop buntut buatannya juga dinyatakan Selena tidak
bisa menyamai buatan mamanya. Padahal kalau misalnya ditanya apa yang berbeda,
sejujurnya aku juga tidak tahu. Sepertinya hanya Selena yang tahu di mana letak
perbedaannya. Namun, mungkin semua itu hanyalah usaha Selena untuk menghalangi
kehadiran perempuan lain di antara kami.
Kuraih tangan mungilnya. “Papa
sayang Selena…”
“Cel juga sayang Papa…”
“Gimana bebeknya? Nih, minum
dulu,” ujarku cemas melihat bulir-bulir keringat yang memenuhi dahinya. Mulutnya
yang mengunyah lahap juga tidak berhenti mendesis.
“Enaaaaakkk…!!!”
Aku mencicipi sop buntut yang khusus
dimasak oleh chef Tari untuk kami
berdua. Dia bahkan sengaja menamainya ‘Sop Buntut Selena’. Rasa kaldunya yang
gurih membelai lembut kuncup-kuncup perasaku. Sekarang tiba giliran Selena
mencicipi sop buntutnya perlahan. Entah kenapa aku seperti menahan napas
menanti hasil penilaiannya. Meskipun bukan aku yang memasak, rasanya aku yang sedang
berada di babak tes tekanan layaknya di lomba memasak itu.
Aku tertegun tatkala melihat
mata putriku berkaca-kaca dan tanpa mengucapkan apa-apa dia langsung berlari
meninggalkan kami berdua. Aku segera menyusulnya, meninggalkan Tari yang masih
kebingungan. Saat akhirnya aku berhasil menyusulnya, Selena sudah sesenggukan
di pantai. Beberapa pengunjung yang bersepeda menatap kami sebelum berlalu. Aku
berlutut di sisinya dan selama beberapa saat tidak mengatakan apa-apa. Hanya
isak Selena yang terdengar, dilatari deburan ombak.
“Sop buntut Tante Tari enak,
Pa. Tapi nggak sama kayak buatan Mama. Padahal Cel suka banget sama Tante Tari…”
Selena akhirnya mulai buka suara setelah tangisnya mereda. Kuraih dia ke dalam
pelukanku. Kubelai rambutnya.
“Mungkin karena cuma ada satu
Mama dan Tante Tari bukan Mama, Sel…” bisikku.
Selena mengurai pelukannya
dan menatapku dengan matanya yang masih sembab. Kuhapus sisa-sisa air matanya. “Kalau
Selena punya mama baru, Mama bakal marah atau nggak, Pa?” Aku langsung terhenyak.
Kriiinngg…!!! Kriinggg…!!!
Kami berdua menoleh dan tidak
jauh dari kami Tari berdiri menyangga sepedanya dan di sebelahnya seorang
tukang becak sudah siap dengan becaknya.
“Sebagai permintaan maaf
karena sop buntutnya gagal…” ujarnya jenaka. Selena melepaskan diri dari
pelukanku lalu menghampiri Tari dan tanpa kuduga-duga langsung memeluknya.
Begitu lama, membuat dadaku kembali sesak dengan keharuan.
“Papa yang gowes becaknya,
ya?”
Dengan sigap Selena menarik
Tari untuk duduk bersamanya di dalam becak. Kuhampiri mereka lalu mengambil
alih sadel becak plus caping dari tukang becak yang sekarang jadi bertugas
menjaga sepeda. Perlahan kukayuh pedalnya menyusuri jalanan. Dari belakang
kusaksikan lengan mungil Selena yang merangkul erat lengan Tari. Mereka kembali
bertukar celoteh. Tawa Selena yang renyah serupa musik di telingaku.
“Pa, lebih kenceng gowesnya!”
“Iya, Nyah…” sahutku. Mereka serentak
tergelak.
Kami lalu berhenti di tepi
pantai dan dengan penuh semangat Selena menarik aku dan Tari untuk bermain
bersamanya di pantai yang pasirnya seputih mutiara. Raut wajahnya yang ceria
bermandikan cahaya matahari membuatnya terlihat semakin berkilau.
Aku tidak ingin tergesa-gesa mengartikan
perkataan Selena tadi. Lagi pula masih terlalu awal untuk menyimpulkan
semuanya. Namun, satu hal yang kutahu pasti adalah ini pasti akan menjadi liburan
yang paling menyenangkan bagi Selena dan menyaksikan senyum terus mengembang
memenuhi raut malaikat kecilku itu sudah memenuhi segala harapanku tentang
kebahagiaan.
Cipratan air meyadarkanku
dari lamunan. Selena terbahak. Aku langsung memasang ancang-ancang untuk
mengejarnya yang berlarian mengelilingi Tari. Pekikannya memenuhi udara. Dan
saat akhirnya berhasil menangkapnya, kupeluk dia erat-erat. Saat itulah
tatapanku bertemu dengan Tari yang masih menertawakan pergulatan kami.
Rambutnya yang tergerai berkibar-kibar dipermainkan angin. Kulitnya berpendar
indah.
Sesuatu menggeliat di
relungku. Hangat dan manis.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis
Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get
discovered!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar