Senin, 14 April 2014

Sop Buntut Selena



"Pokoknya Cel nggak mau punya mama baru!"
Selena, putri semata wayangku yang masih cadel meskipun sudah duduk di kelas dua Sekolah Dasar itu dengan suaranya yang nyaring mengultimatumku. Untuk sesaat aku hanya tertegun di ambang pintu seperti seekor rusa yang terpojok sebelum tersenyum dalam hati melihat tingkahnya. Layaknya panglima perang Indian dengan wajah tercoreng-moreng bedak, dia berdiri gagah sembari berkacak pinggang.
"Emangnya siapa yang ngomong soal mama baru ke Sel?" tanyaku lembut. Kuletakkan tas kerjaku di meja lalu kuraih tangannya. Kami duduk berdua di sofa dan dengan lembut kubelai rambutnya yang lebat seraya merapikan bedaknya.
Seingatku belum pernah sekali pun aku mengutarakan niat untuk menghadirkan seorang perempuan di antara kami. Lagi pula sampai sekarang memang aku merasa belum ada perempuan yang cukup pantas untuk menggantikan Wulan, Mama Selena, yang wafat tiga tahun yang lalu akibat ulah pengendara motor yang ugal-ugalan. Kehilangan yang masih terus membekas hingga sekarang.
"Tante Mel yang bilang. Katanya tidak lama lagi Cel akan punya mama baru. Pokoknya Cel nggak mau, Pa!" rajuknya. Aku mengangguk-angguk sabar.
Duh! Apa-apaan lagi sih, adikku yang satu itu? Aku membatin. Hal ini memang bukan baru kuketahui karena hampir setahun belakangan ini keluargaku dan mertuaku mulai menanyakan niatku untuk menikah lagi. Alasan mereka tentu saja Selena yang masih kecil sangat membutuhkan kehadiran sosok Ibu. Padahal menurutku selama tiga tahun belakangan ini aku lumayan berhasil menjalani peranku sebagai orangtua tunggal. Selena juga tidak pernah keberatan meskipun hanya punya aku.
"Aku dan Selena baik-baik saja berdua, Mel," demikian selalu alasan yang kuutarakan setiap kali Mel mulai mengungkit topic yang satu itu. Namun bukannya berhenti, dari hari ke hari, seperti kesurupan dia rutin menemuiku sambil membawa foto-foto perempuan yang dirasanya paling pas untuk mendampingiku dan Selena.
"Emangnya kamu nggak kasihan ke Selena? Dia tetap butuh seorang ibu. Lagi pula belakangan ini kamu semakin sibuk di kantor. Cuma mengharap Bi Minah yang merawat Selena? Itu egois namanya."
Aku tahu keluargaku berniat baik dan hanya mencemaskan pertumbuhan dan perkembangan Selena, tapi apakah mereka lupa betapa sulitnya putriku itu menerima kepergian mama yang sangat dicintainya itu? Berbulan-bulan dia tidak selera makan karena dia hanya mau makan nasi dengan lauk sop buntut buatan mamanya. Sebuah permintaan kecil yang masih kerap membuatku menitikkan air mata diam-diam. Meskipun akhirnya dia mulai bisa menerima kenyataan tidak akan bisa merasakan sop buntut buatan mamanya lagi, aku tahu patah hatinya masih belum sembuh benar sampai sekarang.
"Mama baru pasti jahat, Pa. Dia pasti kejam ke Cel. Bisa-bisa Cel dijewer atau dicubit sampai biru-biru. Atau Cel bakal dipaksa membersihkan seisi rumah setiap hari," cerocos Selena membuyarkan pikiranku. Kali ini dia menatapku serius dengan matanya yang bulat dan bening.
Hm, sepertinya aku harus menyudahi pembicaraan yang semakin gelap ini.
"Eh, bukannya hari ini Sel nerima rapor? Ayo, tunjukin ke Papa," cetusku mengalihkan topik pembicaraan. Selena langsung melompat dari pangkuanku, berlari ke kamarnya lalu kembali sembari menenteng tasnya. Namun saat aku ingin meraih tas bergambar Hello Kitty itu, dia malah menariknya menjauh.
"Papa masih ingat janji kalau nilai Cel bagus, kan?" todongnya. Matanya berbinar-binar.
"Janji? Masa, sih? Janji yang mana?" godaku.
Bibir mungilnya langsung mengerucut. Aku tergelak lalu dengan secepat kilat kutangkap dia lalu mengurungnya di dalam pelukan.
"Iya, Papa ingat, kok. Janji kelingking, kan?"

"Pram, kamu jadi liburan ke Bali bareng Selena, kan?" tegur Ibuku. Tidak biasa-biasanya dia menyempatkan diri meneleponku ke kantor di jam-jam sibuk seperti sekarang.
"Iya, Bu. Lusa berangkat, kok."
"Ya sudah. Pas kalau begitu. Kamu bisa sekalian ketemuan dengan keponakan Bu Broto. Dia kebetulan tinggal di Nusa Dua. Dia jadi chef di The Bay Bali, lho. Bu Broto udah ngabarin dia juga."
Aku langsung menghela napas panjang.
Jujur saja, aku selalu terkagum-kagum melihat keuletan ibuku dalam hal yang satu ini. Semangatnya tidak pernah surut. Selalu saja ada celah yang bisa dimasukinya. Kenapa Ibu tidak jadi politisi saja, ya? Soalnya sejauh ingatanku belum pernah ada yang bisa berkelit atau menang kalau berdebat dengannya. Menyamai skor saja sulitnya minta ampun.
"Tergantung Selena mau main ke mana, Bu. Pram cuma ngikut," kilahku.
"Oh, Ibu udah nanya ke Selena, kok. Dia ikut ke mana Papanya aja. Yang penting makan enak, katanya. Haha… Cucuku yang satu itu memang ngegemesin…"
Aku ikut tertawa. Garing. Kenapa Selena mendadak jadi anak manis, sih?
"Pram, untuk sekali ini saja Ibu minta kamu jangan berpikir kami sedang memaksamu untuk menikah lagi karena keputusan itu tetap ada di tanganmu. Tapi cobalah pikirkan masa depan Selena."
"Iya, Bu..." Hanya itu yang meluncur dari mulutku.
"Dan kali ini jangan ngeles lagi. Soalnya Ibu nggak enak ke Bu Broto. Asal tahu saja, keponakannya itu lumayan sibuk. Jadi Bu Broto sampe minta tolong gitu supaya dia mau nemenin kalian selama liburan," cerocosnya lagi.
"Iya, Bu..." sahutku lagi seraya menghela napas.
Pembicaraan akhirnya usai dan kubayangkan ibuku berjingkrak-jingkrak kegirangan di seberang sana karena misinya berhasil.
Kuraih foto yang bertengger manis di meja kerjaku. Wulan dan Selena kecil, bergandengan tangan, tersenyum ke arahku. Foto itu kujepret sendiri saat kami sedang liburan di Kuta lima tahun yang lalu. Kupandangi wajah mereka di foto itu dan dadaku langsung sesak. Kuhela napas, sekadar untuk meredakan perasaan yang bergulung-gulung di dadaku.
Masih lekat di ingatanku Selena kecil yang histeris melihat peti yang membungkus tubuh mamanya mulai ditimbun tanah merah. Suaranya yang nyaring memintaku melarang mereka mengubur mamanya tercinta. Tangisnya yang menyayat membuat semua orang yang hadir di pemakaman kembali menitikkan air mata sementara aku tetap berusaha tegar menghiburnya meskipun perasaanku sendiri sedang compang-camping kehilangan perempuan yang kusayangi.

Pesawat yang membawa kami akhirnya mendarat dengan mulus di bandara Ngurah Rai. Kubopong Selena yang masih tertidur turun dari pesawat. Cahaya matahari petang yang menyengat memaksaku setengah memicingkan mata. Setelah mengambil bagasi aku segera bergegas untuk mencari taksi.
“Pak Pram?” sapa seseorang. Suaranya yang merdu bergaung lembut di telingaku. Aku menoleh. Seorang perempuan berkulit sawo matang berdiri tidak jauh dariku. Rambutnya yang panjang dikuncir. Dia lalu tersenyum ramah memamerkan deretan giginya yang indah seraya mengulurkan tangan, “Saya Tari.”
Ah, pastilah dia keponakan Bu Broto yang diceritakan Ibu tempo hari. Kusambut uluran tangannya yang mantap. “Iya. Maaf, kalau nanti kami jadi merepotkan dan panggil Pram saja.”
Selena yang sedari tadi terkulai di gendonganku mendadak terbangun. Kuturunkan dia dari gendonganku. Matanya masih sayu. Aku berlutut di sebelahnya. “Sel, kita udah nyampe. Kenalan dulu sama Tante Tari, ya? Dia yang mau nemenin kita jalan-jalan, ” bisikku.
“Sekalian traktir…?” tanya Selena malas-malasan. Aku langsung tergelak kikuk. Duh. Tampangku pasti sudah warna-warni sekarang.
“Iya. Tante traktir makan enak! Pokoknya tanggung beres!” sahut Tari.
“Ada sop buntut?” tanya Selena yang langsung dijawab Tari dengan acungan jempol. “Lebih enak dari buatan Mama, nggak? Cel paling suka sop buntut buatan Mama.”
“Wah… Jadi deg-degan, nih nunggu penilaian Chef Selena,” sahutnya kocak. Selena tergelak lalu kami bertiga meninggalkan bandara. Tanpa canggung Tari menggandeng putriku sementara aku mengikuti dari belakang sembari mendorong troli.
Ah, rasanya baru kali ini pertemuanku dengan perempuan asing berjalan semulus ini, apalagi mengingat embel-embel perjodohan di belakangnya. Namun, kuputuskan untuk mengikuti alur yang baik ini tanpa beban. Lagi pula niatku sedari awal kan ingin memberikan Selena liburan yang menyenangkan. Tidak lebih.
Selama di perjalanan aku hanya jadi pendengar yang baik sementara Selena dan Tari asyik berceloteh. Perempuan itu terlihat begitu alamiah menghadapi putriku. Dengan sabar Tari menjawab pertanyaan-pertanyaan Selena yang tidak hanya sekali membuat telingaku tersengat. Bagaimana tidak? Dengan lugas Selena bertanya apakah perempuan yang baru kami kenal itu sudah menikah dan saat dijawab belum putriku yang cerewet itu malah langsung bertanya kenapa. Jadilah aku hanya tertawa kikuk bin garing di belakang. Aku tidak berani membayangkan bagaimana anggapan Tari terhadapku. Dia pasti langsung menganggapku orangtua yang gagal.

“Pa, patung bebeknya lucu banget! Fotoin Cel, Pa!”
Aku mengacungkan jempol lalu mengeluarkan ponselku. Kubidik Selena yang sudah terlebih dahulu bergaya di sisi patung. Beberapa jepretan sekadar untuk memuaskannya.
“Sayang banget Mama nggak ada. Jadi nggak bisa foto bareng Cel…” cetusnya murung.
“Wah, kamu beneran berbakat jadi supermodel, lho Cel…” cetus Tari yang langsung membuat putriku yang narsis itu kembali tersenyum lebar. Tak lupa dia juga mengikutiku menjepret Selena lewat bidikan kamera ponselnya. Reaksinya yang cepat berhasil menyelamatkan mood Selena.
Sesuai janjinya, Tari memang menemani kami berdua berkeliling restoran The Bay Bali dan yang terlebih dulu kami singgahi adalah restoran Bebek Bengil yang menyambut kami dengan patung bebek yang berkilauan indah di gerbangnya. Berbingkai-bingkai foto berisi pejabat dan artis menghiasi dindingnya. Belum lagi lukisan-lukisan indah yang turut memanjakan mata para tamu yang bersantap.
“Kalau suka menu bebek, di sini jagoannya,” ujarnya berpromosi seolah tidak terganggu dengan kejadian beberapa saat yang lalu.
Aku hanya mengangguk-angguk. Toh tanpa perlu dia jelaskan ramainya pengunjung yang memenuhi deretan kursi di restoran ini sudah cukup membuktikan ucapannya. Pramusaji terlihat sibuk dan sigap berkeliling sembari menopang nampan berisi pesanan tamu. Suara tawa dan dentingan alat-alat makan laksana irama musik di telingaku. Menerbitkan liurku.
“Kita makan sop buntut di sini, Pa?” tanya Selena tiba-tiba.
“Oh, kalo yang satu itu harus ke markas Tante, dong. Di Bumbu Nusantara.”
“Tapi Cel udah laper. Kita makan di sini aja ya, Pa? Besok baru makan sop buntut Tante Tari,” sambung putriku lagi.
“Nggak masalah. Jadi sekarang Tante bisa pulang untuk siap-siap untuk bikin sop buntut yang paling istimewa untuk Cel besok, ya?”
“Kenapa nggak makan malam bersama kami saja?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dan untuk sesaat aku terkejut sendiri. Namun, setelah segala kerepotan yang kami berikan untuknya aku merasa wajar saja kalau malam ini gantian menjamunya sekadar bentuk kesopanan.
“Besok aku harus bangun pagi-pagi karena akan memandu kelas memasak untuk beberapa orang tamu,” ujarnya. Ah, tentu saja. Dia adalah salah satu koki andalan di restoran ini. Lagi pula bagi kami yang baru berkenalan, kebersamaan selama hampir seharian ini rasanya sudah cukup.
“Sampai ketemu besok, Tante…” ujar Selena lalu mereka berpelukan. Kami berdua berdiri di gerbang Bebek Bengil hingga mobilnya menghilang dari pandangan. Setelahnya kami menempati salah satu meja di restoran, bergabung dengan tamu lainnya.
“Tante Tari cantik banget ya, Pa,” cetus Selena selagi kami menunggu pesanan. “Trus jago masak,” sambungnya lagi.
“Sel suka sama Tante Tari?” tanyaku hati-hati, teringat ultimatumnya tentang mama baru tempo hari. Menu pesanan kami mulai berdatangan dan Selena langsung menatap takjub minumannya yang warna-warni.
“Suka. Apalagi kalau sop buntutnya beneran kayak buatan Mama…” tandasnya tenang lalu menyeruput minumannya dengan hati-hati.
Sampai sekarang belum ada yang bisa menandingi rasa sop buntut buatan Wulan. Bahkan Bi Minah yang selama ini membantu Wulan di dapur sop buntut buatannya juga dinyatakan Selena tidak bisa menyamai buatan mamanya. Padahal kalau misalnya ditanya apa yang berbeda, sejujurnya aku juga tidak tahu. Sepertinya hanya Selena yang tahu di mana letak perbedaannya. Namun, mungkin semua itu hanyalah usaha Selena untuk menghalangi kehadiran perempuan lain di antara kami.
Kuraih tangan mungilnya. “Papa sayang Selena…”
“Cel juga sayang Papa…”
“Gimana bebeknya? Nih, minum dulu,” ujarku cemas melihat bulir-bulir keringat yang memenuhi dahinya. Mulutnya yang mengunyah lahap juga tidak berhenti mendesis.
“Enaaaaakkk…!!!”

Aku mencicipi sop buntut yang khusus dimasak oleh chef Tari untuk kami berdua. Dia bahkan sengaja menamainya ‘Sop Buntut Selena’. Rasa kaldunya yang gurih membelai lembut kuncup-kuncup perasaku. Sekarang tiba giliran Selena mencicipi sop buntutnya perlahan. Entah kenapa aku seperti menahan napas menanti hasil penilaiannya. Meskipun bukan aku yang memasak, rasanya aku yang sedang berada di babak tes tekanan layaknya di lomba memasak itu.
Aku tertegun tatkala melihat mata putriku berkaca-kaca dan tanpa mengucapkan apa-apa dia langsung berlari meninggalkan kami berdua. Aku segera menyusulnya, meninggalkan Tari yang masih kebingungan. Saat akhirnya aku berhasil menyusulnya, Selena sudah sesenggukan di pantai. Beberapa pengunjung yang bersepeda menatap kami sebelum berlalu. Aku berlutut di sisinya dan selama beberapa saat tidak mengatakan apa-apa. Hanya isak Selena yang terdengar, dilatari deburan ombak.
“Sop buntut Tante Tari enak, Pa. Tapi nggak sama kayak buatan Mama. Padahal Cel suka banget sama Tante Tari…” Selena akhirnya mulai buka suara setelah tangisnya mereda. Kuraih dia ke dalam pelukanku. Kubelai rambutnya.
“Mungkin karena cuma ada satu Mama dan Tante Tari bukan Mama, Sel…” bisikku.
Selena mengurai pelukannya dan menatapku dengan matanya yang masih sembab. Kuhapus sisa-sisa air matanya. “Kalau Selena punya mama baru, Mama bakal marah atau nggak, Pa?” Aku langsung terhenyak.
Kriiinngg…!!! Kriinggg…!!!
Kami berdua menoleh dan tidak jauh dari kami Tari berdiri menyangga sepedanya dan di sebelahnya seorang tukang becak sudah siap dengan becaknya.
“Sebagai permintaan maaf karena sop buntutnya gagal…” ujarnya jenaka. Selena melepaskan diri dari pelukanku lalu menghampiri Tari dan tanpa kuduga-duga langsung memeluknya. Begitu lama, membuat dadaku kembali sesak dengan keharuan.
“Papa yang gowes becaknya, ya?”
Dengan sigap Selena menarik Tari untuk duduk bersamanya di dalam becak. Kuhampiri mereka lalu mengambil alih sadel becak plus caping dari tukang becak yang sekarang jadi bertugas menjaga sepeda. Perlahan kukayuh pedalnya menyusuri jalanan. Dari belakang kusaksikan lengan mungil Selena yang merangkul erat lengan Tari. Mereka kembali bertukar celoteh. Tawa Selena yang renyah serupa musik di telingaku.
“Pa, lebih kenceng gowesnya!”
“Iya, Nyah…” sahutku. Mereka serentak tergelak.
Kami lalu berhenti di tepi pantai dan dengan penuh semangat Selena menarik aku dan Tari untuk bermain bersamanya di pantai yang pasirnya seputih mutiara. Raut wajahnya yang ceria bermandikan cahaya matahari membuatnya terlihat semakin berkilau.
Aku tidak ingin tergesa-gesa mengartikan perkataan Selena tadi. Lagi pula masih terlalu awal untuk menyimpulkan semuanya. Namun, satu hal yang kutahu pasti adalah ini pasti akan menjadi liburan yang paling menyenangkan bagi Selena dan menyaksikan senyum terus mengembang memenuhi raut malaikat kecilku itu sudah memenuhi segala harapanku tentang kebahagiaan.
Cipratan air meyadarkanku dari lamunan. Selena terbahak. Aku langsung memasang ancang-ancang untuk mengejarnya yang berlarian mengelilingi Tari. Pekikannya memenuhi udara. Dan saat akhirnya berhasil menangkapnya, kupeluk dia erat-erat. Saat itulah tatapanku bertemu dengan Tari yang masih menertawakan pergulatan kami. Rambutnya yang tergerai berkibar-kibar dipermainkan angin. Kulitnya berpendar indah.
Sesuatu menggeliat di relungku. Hangat dan manis.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar