Kamar lengang. Hanya ada aku sendirian. Duduk tegak di depan cermin
besar yang memantulkan sosok yang untuk sesaat tadi sempat tidak dapat
kukenali. Bikin pangling kata perempuan-perempuan itu riuh. Bibir mereka
begitu manis diulas pujian yang ditujukan hanya untukku. Bibir yang
kutahu hanya manis saat itu saja.
Aku menatap sosok di
cermin. Aku memang tidak mengenalinya. Tadi. Sekarang juga. Meskipun
setiap gerakanku diikuti sama persis olehnya. Rautku dipantulkan dengan
sempurna olehnya. Tapi aku tetap merasa dia bukanlah aku. Dia tetap
sosok asing yang berusaha meniruku dengan sempurna.
Aku tersenyum. Dia juga tersenyum.
Senyumku
semakin lebar. Dia juga. Meskipun aku yakin dia tidak akan dapat
menerjemahkan pikiran yang berkelebat di benakku sekarang. Tapi itu
pastinya tidak penting baginya. Tugasnya hanya meniruku sesempurna
mungkin. Mulai hari ini sampai entah kapan.
Pintu kamar
diketuk lalu dibuka sedikit. Kepala ibu menyembul, ”Pras, udah siap?
Rombongan marhaban-nya udah nyampe. Rombongan Nak Eka juga udah
nyampe...” Aku tidak menyahut. Namun tidak menolak ketika rombongan
perempuan dengan bibir mereka yang manis meraih lalu membimbingku
keluar. Keriuhan menyambutku. Aku berdiri di tempatku dengan teguh
berharap dengan begitu maka semuanya akan baik-baik saja.
Dan
tatapan matanya menyambutku. Kekasihku. Dengan lumuran cinta yang
meruah di sekelilingnya. Meski dengan jarak yang begitu jauh, aku seolah
bisa merasakan belaiannya di punggungku yang setengah terbuka. Hujan
kecupannya yang senantiasa memandikanku dengan cintanya yang melimpah.
Kekasihku. Berdiri dengan anggun di sana. Dalam balutan kebaya seragam berwarna peach.
Warna kesukaanku yang selalu bisa membuatnya semakin berkilau. Lebih
berkilau di antara yang lain. Menyambut rombongan mempelai gagah dan
megah yang tiba bersama iring-iringan marhaban.
Kekasihku. Yang sudah lebih dulu menikahiku. Tanpa
ijab kabul. Tanpa pertukaran cincin. Tanpa keriuhan seperti ini. Hanya
dengan menukarkan jiwanya dengan jiwaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar