”Yang kubutuh hanya sebuah dorongan.” Aku menatapnya.
”Hanya itu?” tanyaku.
Dia mengangguk
tapi tidak menoleh. Rambutnya yang ikal bergerak liar dipermainkan angin.
Rambutnya sudah mulai panjang diikuti jambang, kumis dan janggutnya yang bukan
lagi berupa samar, memenuhi garis wajahnya. Wajah yang selama ini selalu klimis
dan apik.
Aku menatap ke
depan. Menikmati hembusan angin yang cukup kencang di wajahku, menyisakan desau
di kedua telingaku. Desau yang kuharap bisa menghilangkan kekalutan yang
memenuhi kepalaku dan kepalanya.
Sudah hampir dua
bulan belakangan kami akan menghabiskan waktu di tempat ini. Di bibir jurang.
Sejak usaha yang kami rintis gagal total menyisakan hutang yang mungkin tidak
akan lunas terbayar hingga tujuh turunan kami. Usaha yang tidak lagi menyisakan
teman selain para penagih hutang.
Aku menatap
cakrawala yang sekarang rasanya begitu dekat. Entah kenapa hari ini dia seolah
tersenyum ke arahku. Begitu ramah. Mengalirkan keyakinan yang kuat di dalam
diriku. Mendorongku.
”Jika kau butuh
sebuah dorongan...” Bersamaan dengan itu sebelah tanganku meraih tangannya
sementara yang lain mendorong tubuhnya. Matanya yang semula penuh dengan
keterkejutan sekarang berganti kelegaan bersamaan dengan kata terakhir yang
meluncur dari bibirku, ”Tariklah aku.”
Tangan kami tidak
terlepas meski angin yang mendampingi perjalanan kami begitu kuat ingin
memisahkan. Aku menatapnya. Dia menatapku. Setelahnya kami sama-sama tersenyum.
Bersama-sama cakrawala yang tersenyum tabah menerima kami kembali di pangkuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar