“Papa pergi dulu, yah.”
Dia berbisik di
perutku yang membusung. Membelai lalu mengecupnya penuh sayang sebelum mencium
keningku. Aku melambai mengantarnya berlalu. Itu adalah ritual yang setiap pagi
kami lakukan belakangan ini, sejak aku akhirnya berhasil hamil. Buah hati yang
sudah sangat dia nanti-nantikan bahkan sejak pernikahannya yang pertama dulu.
Ya, aku adalah
istrinya yang keempat. Istri yang sangat dia harapkan bisa memberi keturunan
yang gagal dia dapatkan di pernikahan sebelumnya. Dan demi jaminan hidup
keluargaku, maka aku juga sama berambisi dengan dirinya untuk bisa
memiliki keturunan. Tanpa anak maka aku hanya akan bernasib serupa dengan
mantan-mantan istrinya. Terbuang.
Aku terlonjak
ketika seseorang menyentuh lenganku. Membelai tepatnya. Ternyata Joko, tukang
kebun yang sudah dua tahun ini bekerja di rumah kami. Dia menatapku lekat
sembari menyeringai. ”Kau makin cantik. Montok!” pujinya sembari menelanjangiku
dengan tatapannya.
“Jaga omonganmu,
Ko!” Dia hanya terkekeh.
”Iya... Iya...
Kok langsung sewot. Bawaan orok, ya?” Aku mengacuhkannya dan ingin kembali ke
dalam rumah, namun dia langsung menahanku. ”Jangan lupa perjanjian kita.” bisiknya sembari menatap tajam ke arah perutku lalu beranjak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar