Lampu sudah padam, menyisakan panggung temaram. Ruangan yang beberapa saat yang lalu riuh penuh gemerlap sekarang terlihat suram. Tidak ada lagi suara aplaus dan sorak sorai penonton. Yang tersisa sekarang hanya keheningan.
Aku baru saja
menaikkan sebuah bangku ke meja, ketika kau muncul di panggung. Aku pun
menghentikan aktivitasku, duduk di sebuah kursi yang dingin lama ditinggalkan.
Dengan dada membuncah bersiap-siap menonton pertunjukan di panggung. Lenganmu
yang gemulai terulur meraih mikrofon dan panggung yang semula temaram langsung
berpendar. Bukan karena lampu sorot gemerlap aneka warna menyala. Tubuhmu yang
berpendar lembut terbalut gaun merah marun yang anggun membuat panggung itu terlihat
hidup.
Mataku tidak
berkedip. Tidak rela melepas saat-saat ketika kau mulai mengalunkan suara
emasmu. Suara yang begitu bening seolah nyanyian dari surga. Suara yang mampu membuat
kuduk merinding dan terpana tanpa sanggup bergerak seinci pun. Suara yang
membuatku menahan napas seolah takut jika melepasnya maka semua akan usai.
Suara yang selalu menjebol benteng pertahananku, menyerah pada desakan air mata
penuh haru.
Kau tetap Sang
Primadona.
dan panggung itu,
tetaplah milikmu.
hanya kau yang
pantas bersanding di sana
tiada sosok yang
sanggup menggantikanmu
Sorak sorai dan
tepuk tangan yang ditujukan buat mereka di telingaku tidak lebih dari kekaguman
palsu. Karena tetap kaulah Sang Primadona yang sejati. Sang Primadona yang
meski mungkin sudah dilupakan, tapi tidak pernah beranjak dari ingatanku.
Terkunci rapi dan abadi di sudutnya yang terdalam.
Kau tetap Sang
Primadona.
dan panggung itu,
memang milikmu
seberapa banyak
rasa iri yang mendera
mereka bahkan
tidak cukup layak bersanding bersamamu
Tidak ada yang
tahu. Atau mereka hanya terlalu sibuk untuk peduli. Tapi aku tahu, air mata
yang beberapa kali harus tumpah dari matamu yang indah. Air mata pedih yang
mungkin bagi mereka hanyalah sandiwara andalan Sang Primadona. Tapi aku tahu,
kau tidak sedang bersandiwara. Rasa pedih itu nyata.
Kau tetap Sang
Primadona.
dan panggung itu,
masih milikmu.
dengan sepasang
sayap serupa bidadari merentang indah
yang akhirnya harus
patah oleh dengki dan cemburu
Lagumu usai
sudah. Dengan anggun kau membungkuk dan aku langsung bertepuk tangan. Air mata
sekarang membanjiri kedua belah pipiku. Kau tersenyum. Mengangguk. Melempar
ciuman jarak jauh buatku. Kebiasaanmu yang sangat kuingat. Bahkan di hari
terakhirmu bersanding di panggung itu, sebelum lampu-lampu raksasa yang berpijar panas
mendadak rubuh menghujani tubuhmu.
Kau tetap Sang
Primadona.
dan panggung itu,
selamanya akan jadi milikmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar