Entah kenapa ketika menatap rautnya aku merasa kami pernah bertemu. Tapi bagaimana mungkin? Dia tidak mengenaliku, dan perasaan tidak asing yang kurasakan pasti bukan apa-apa. Aku berdansa dengan tetamu lain, dia juga begitu. Tapi rasa penasaran yang besar akhirnya menuntunku menghampirinya, mengulurkan tangan, mengajaknya berdansa.
Kami berdansa
hingga lagu usai dimainkan, berlanjut ke lagu berikutnya. Dia memang sangat
menawan. Tawanya juga sangat merdu. Beberapa pria lain pasti hanya bisa mendongkol
karena aku telah memonopoli perempuan tercantik di pesta ini.
Teng... Teng..
Teng...
Jam di tengah
aula berdentang dan dia pun mendadak panik. Aku hanya tertawa ketika dia ngotot
harus segera meninggalkan pesta, teringat pada dongeng tentang Cinderella yang
harus pulang sebelum jam dua belas malam. Tapi toh akhirnya aku tidak bisa
menahannya lebih lama. Tapi ketika aku sadar belum menanyakan nomor teleponnya,
maka aku segera menyusulnya.
Koridor itu sudah
kosong. Sosoknya tak terlihat lagi. Aku menyumpahi ketololanku dan saat itu
mataku menangkap sesuatu. Aku menghampirinya dengan rasa takjub. Jadi dongeng
Cinderella itu nyata? Aku meraih sebelah sepatu itu. Bukan sepatu kaca seperti
di dongeng.
Aku mengenalinya mirip
dengan sepatu yang raib dua hari yang lalu ketika serombongan perempuan masuk menyibukkan
seisi toko, dan pertanyaan tentang pertemuan kami sebelum ini pun terjawab bersamaan dengan ingatanku ketika dengan manis dia meminta diambilkan sepasang sepatu.
Yang tak pernah dibayarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar